RISALAH NU ONLINE, MALANG – Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Malang menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Fasilitator Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) Kabupaten Malang pada 8–11 April 2025. Tak hanya dihadiri kader-kader NU seperti dari Fatayat NU, IPNU-IPPNU, LKKNU, dan para penyuluh KUA, kegiatan ini juga melibatkan tokoh dan aktivis dari komunitas agama Kristen.
Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kesadaran bahwa isu perkawinan anak bukanlah pekerjaan satu lembaga atau satu kelompok agama semata, melainkan menyentuh sendi-sendi sosial, budaya, dan moral yang melintasi batas-batas identitas—baik agama, organisasi, maupun profesi.
Bertempat di UPT Peningkatan Tenaga Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Timur, Kota Malang, kegiatan ini menjadi salah satu rangkaian penting dalam pelaksanaan Program INKLUSI (Inklusi Sosial untuk Indonesia yang Setara), hasil kerja sama Pemerintah Australia dan Indonesia.
“Ini menunjukkan bahwa isu perlindungan anak adalah isu lintas iman, lintas organisasi. Kita semua punya tanggung jawab yang sama untuk melindungi remaja dari bahaya perkawinan anak,” ujar Sutomo, Ketua Lakpesdam NU Kabupaten Malang, dalam sambutannya saat membuka acara. Ia menegaskan bahwa kerja-kerja sosial semacam ini hanya akan efektif jika dibangun di atas semangat kolaborasi dan saling percaya antar berbagai pihak.
Selama empat hari pelaksanaan, para peserta mendapatkan sembilan materi komprehensif yang menyentuh berbagai aspek penting dalam bimbingan remaja, termasuk pendekatan psikologi perkembangan, pendidikan reproduksi yang sensitif budaya, penguatan spiritualitas, hingga teknik fasilitasi dan pendampingan berbasis komunitas. Materi-materi ini disampaikan oleh dua narasumber utama yang telah lama berkecimpung dalam isu-isu psikologi dan pembangunan inklusif, yakni Nurmey Nurulchaq, psikolog dan pengurus LKK PBNU, serta Dr. Muhammad Mahpur, dosen Psikologi UIN Malang yang dikenal sebagai aktivis perdamaian dan advokat kesetaraan gender.
Kegiatan ini diharapkan menjadi pengingat bahwa pencegahan perkawinan anak tidak hanya soal hukum dan kebijakan, tetapi juga soal perubahan pola pikir dan budaya yang harus dimulai dari lingkungan terdekat: keluarga, sekolah, tempat ibadah, dan ruang-ruang komunitas. Kehadiran peserta lintas agama dalam forum ini pun memunculkan inisiatif tindak lanjut kolaboratif di komunitas masing-masing.
“Semangat lintas iman yang terbangun di forum ini harus terus dirawat dan direplikasi di tingkat komunitas. Jangan sampai ada anak yang kehilangan masa depannya karena keputusan yang diambil dalam ketidaksiapan,” tutur Nurmey dalam salah satu sesi pelatihan.
(Anisa).