KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meskipun sudah tidak jadi presiden tetapi tetap menerima banyak tamu di rumahnya di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Tapi, kali ini tak seperti biasanya. Ia meminta Nuruddin Hidayat, santrinya, melarang siapapun tamu masuk rumahnya kecuali di ruang tunggu di luar. Dan semakin aneh lagi, Gus Dur minta baju koko dan sarung baru. Karena tak ada di almari, maka dipinjamkan baju dan sarung baru itu milik santrinya.
Tak dinyana tiba-tiba muncul seorang kakek tua ceking berpeci hitam, janggut putih, dengan kain diselempang ke bahu, dan celana pangsi selutut datang mengetuk. Ia datang layaknya pengemis.
Anehnya, Gus Dur membolehkan masuk. Justru laki-laki itu sepertinya yang ditunggu. Laki-laki itu sepintas berwajah Arab. Menurut tamu yang diantar seorang aktivis Aceh, ia berjalan kaki dari tanah Serambi Makkah ke Jakarta. Gus Dur menyambutnya hangat dan mempersilakan masuk. Gus Dur mengajaknya duduk bersila di karpet.
Lebih aneh lagi, keduanya tak bercakap apa pun bahkan keduanya lalu tidur sekitar 15 menit dan posisi duduk menyandar. Setelah terbangun keduanya, kakek misterius itu pamit pulang. Tak ada pembicaraan panjang dan tak ada isyarat apa pun. Minuman yang disediakan juga tak disentuhnya.
Tentu, santri yang melayani heran. “Nyuwun sewu siapa tadi Gus?” tanya santri itu.
”Wali Allah dan hanya satu di Indonesia. Wali yang sejenis dengannya, hanya ada di Sudan,” jawab Gus Dur tenang. Wali langka biasanya disebut Wali Abdal.
Siapakah gerangan? Gus Dur kemudian menjelaskan bahwa tamunya bernama Teungku Ibrahim bin Teungku Sulaiman bin Teungku Husen Woyla. Ia lahir di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat pada 1919 M. Abu Ibrahim Woyla hanya tamat Sekolah Rakyat (SR) lalu menempuh pendidikan dayah (pesantren) antara lain di Labuhan haji, Aceh Barat. Ia nyantri sekitar 25 tahun.
Abu Ibrahim Woyla pernah belajar selama 12 tahun pada Abu Syekh Mahmud, seorang ulama asal Lhoknga, Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blangpidie, Aceh Barat Daya. Salah satu murid Syekh Mahmud ini adalah Abuya Muda Waly yang kemudian menjadi ulama tersohor di Labuhan Haji. Selain itu Abu Ibrahim Woyla juga pernah belajar pada Abu Calang (Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilal Yatim (Suak) bersama rekan seangkatannya yang bernama Teungku Adnan Bakongan.
Setelah Abuya Muda Waly kembali dari Mekkah dan membuka Dayah Darussalam di Labuhan Haji, Aceh Selatan, maka Abu Ibrahim Woyla kembali belajar kepada Abuya Muda Waly selama dua tahun untuk memperdalam Tareqat Naqsyabandiah. Selesai belajar kepada Abuya Muda Waly, Abu Ibrahim Woyla kembali ke kampungnya di Pasi Aceh.
Tak lama setelah kembali ke kampung halamannya, Abu Ibrahim Woyla mulai mengembara tanpa seorangpun yang tahu kemana tujuannya. Menurut salah seorang menantunya yang bernama Teungku Nasruddin, Abu Ibrahim Woyla pernah menghilang sebanyak tiga kali selama hidupnya. Pertama sekali selama dua bulan, kedua kali selama dua tahun, dan ketiga selama empat tahun. Setelah menghilang untuk ketiga kalinya, kemudian Abu Ibrahim Woyla kembali ke keluarganya dengan kondisi rambut dan tubuh yang tidak terurus.
Sejak kecil Abu Ibrahim Woyla dikenal sebagai sosok yang pendiam, ia hanya berkomunikasi jika ada yang perlu disampaikan. Hal ini menyebabkan orang lain tidak berani menanyakan hal-hal aneh yang dilakukannya.
Tengku merupakan orang yang sangat dihormati di Aceh. Masyarakat memanggilnya Tengku Beurahim Wayla. Ia dipercaya sering menunaikan salat Jumat di Makkah. Ia bisa berjalan cepat mengalahkan laju mobil. Banyak saksi yang melihatnya bisa menghilang.
Ia bisa mengetahui perilaku seseorang dan sering kali orang yang menemuinya diutarakan kesalahannya agar diperbaiki. Sebelum terjadi tsunami 2004, Abu Ibrahim pernah berkata bahwa, ”Air laut bakal naik sampai setinggi pohon kelapa.”
Tampaknya, karena keduanya sama-sama wali, agar tak didengar pembicaraannya, dialog dilakukan dalam tidur. Sebab, tak lama dari pertemuan itu dikabarkan sang wali Aceh wafat pada pada 18 Juli 2009 dalam usia 90 tahun dan dimakamkan di desanya.
Selama sebulan penuh, ribuan masyarakat berduyun melayat demi memberi penghormatan terakhir pada sang wali. Enam bulan berikutnya, pada 30 Desember Gus Dur wafat dalam usia 69 tahun dan dimakamkan di Tebu Ireng.
Seperti Tengku Woyla, ribuan orang tumpah ke jalan mengantarnya. Dan makamnya juga ramai diziarai. Sampai sekarang pembicaraan dua wali dalam tidur itu tak pernah diceritakan dan lenyap bersama waktu. (*)