Syekh Abdul Qadir Al-Jailani wafat 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M di Bagdad. Makamnya terkenal dan menjadi pusat ziarah kaum muslim Sunni di Bagdad. Sementara banyak makam lain yang menjadi pusat ziarah Syi’ah.
Setiap tahun Syekh Abdul Qadir yang dikenal Raja Para Wali (Sultanul Awliyah) itu selalu dihauli, diselenggarakan doa dan kenangan setiap tahunnya. Haul diselenggarakan di masjid yang terdapat makam Syekh Abdul Qadir.
Dihadiri ribuan orang dari mana-mana, termasuk dari Indonesia, Malaysia, India, Pakistan, terutama bagi pengikut tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
Suatu hari seorang ulama asal Malang, Jawa Timur, menunaikan ibadah haji tahun 1970.
Ketika duduk menungu salat Maghrib di Masjidil Haram tiba-tiba duduk seorang yang berwajah cerah dan wangi. Sepertinya ia seorang ulama dengan turur kata yang halus, mudah difaham.
Usia sudah kanjut, sekitar 70 tahun. Ia menunjukkan sikap yang simpatik.
“Dari mama?” tanya ulama itu.
“Indonesia.”
“Ahla wa sahlan, Indonesia. Pasuruan?”
‘”Bukan saya dari Malang, dekat Pasuruan? Tuan kenal Pasuruan?”
“Iya saya kenal Pasuruan. Belum pernah ke kana. Di sana ada kenalanku,” kata ulama yang mengaku asal dari Irak itu.
Kiai asal Malang penasaran. “Siapa gerangan teman Tuan?”
“Syekh Abdul Hamid.”
“Syaikh Abdul Hamdi bin Abdullah?”
“Iya.”
“Seorang waliyullah?”
“Iya.”
:Bagaimana Tuan kenal beliau?”
“Syekh Hamid setiap tahun selalu menginap di rumahku saat haul Syekh Abdul Qadir Jailani yang diselenggarakan setiep tahun. Rumah saya tidak jauh dari makam.”
Kiai itu tak banyak heran karena mungkin saja Kiai Hamdi ke Bagdad secara lahiriyah maupun athiniyah. Naik pesawat. Kiai Hamid seorang wali besar yang mungkin saja melalui keramatnya datang ke Bagdad.
“Apakah saudaraku akan menemui Syekh Hamid sepulang dari haji,” kata ulama Irak itu.’
“Tentu, apakah menitip salam untuk beliau?”
“Betul, sampaikan salam saya Syekh Ali dari Bagdad.”
Usai salat Magrib kiai itu tak sempat bertemu lagi syekh dari Bagdad itu.
Pulang haji, ia langsung menuju Pasuruan sowan Kiai Hamid. Belum masuk rumah ia sudah dihadang Kiai Hamid.”Ada salam dari Syekh Ali ya?”
Subhanallah. Begitu alam para wali, dunia menjadi kecil. Kiai Hamid sudah tahu, gumam kiai itu. Maka ia tak banyak bicara selain diam menunggu dan mendengar dawuh Kiai Hamid.
“Tolong selama aku masih hidup jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun,” kata Kiai Hamid.
Kiai asal Malang itu nurut. Tak berani cerita kepada siapa pun. Baru setelah Kiai Hamid wafat pada Desember 1982, kiai asal malang itu mulai berani menceritakan keramat dan kewalian Kiai Hamid.
(H. Musthafa Helmy)