Varia Seabad Media NU: Hak Jawab dan Hak Tolak Polemik  Maulid Nabi

0

Pengantar

Majalah Berita NU (BNO) edisi  No 16/8 Rabiul Awal 1358 atau Juni 1939 dan edisi 17/8 Jumadil Awal 1358 atau Juli 1939 ada tulian menarik yang bersautan, polemik tentang ‘komersial’ peringatan maulid Nabi. Yang menarik sikap redaksi dalam menangani polemik itu.

Ada hak jawab yang tidak dikurangi dan sikap redaksi terhadap polemik itu yang netral. Serta, bagaimana para ulama menyembunyikan identitas penulis sebagai hak tolak yang sudah menjadi kesadaran redaksi kala itu.

Dari Sedayu

Pada malam Senin 3 Rabiul-akhir, umat Islam di Sedayu (daerah Gresik) mengadakan perajaan maulid di dalam masjid jami’ mengundang  K.H. Ghoefran dan Ch. M.M. Shiddieq keduanya dari Surabaya.

Aneh perayaan ini: Pertama hari sudah telat. Kedua ialah anehnja aneh, orang yang boleh masuk ke dalam pekarangan (halaman) masjid itu hanyalah orang, yang membeli karcis harga 0,15 Gulden. Dus itu masjid ditutup buat umum. Di pintu halaman masjid dijaga seperti jaar-market (pasar tahunan, red). Barang siapa menunjukkan karcisnja boleh masuk, jikalau tidak, nah boleh pergi atau boleh nonton dari luar pagar.

Melihat peraturan yang menyalahi roh keislaman, yang tak membedakan antara miskin dan kaya itu, maka kedua muballigh diatas, menjelas-jelaskan kedudukan orang miskin dan bagaimana Rasulullah SAW menyintai orang miskin itu, dengan panjang lebar, sampai cukup dimengerti. Tak sampai hati kami melihat saudara kita kaum miskin, yang nongkrong di luar pagar, ingin mendengarkan nasihat agamanya dan riwayat Nabinya, sungguh tak sampai hati.

Dan tidak kami mengerti mengapakah, maka diatur secara begitu? Jikalau aturan itu sekadar untuk menghimpunkan derma guna keperluan perayaan itu, maka sudah pada tempatnya jikalau derma itu dilakukan dengan secara umum untuk gunanya umum pula, jadi si mampu dan kaya menderma, untuk guna umat ramai yang tidak mampu menderma. Jikalau maksud itu hanya sekadar secara ‘liwetan’ yaitu  mereka yang turut makan, hanya orang-orang yang turut urunan, maka hendaklah nasihat keagamaan itu diperuntukan buat umum tentang makannya boleh pindah di lain tempat, khusus untuk mereka yang turut urunan saja.

Baca Juga :  Varia Seabad Media NU: Majalah Pendidikan dari NU

Sedemikian itu adalah karena mengingat, bahwa perayaan maulud Rasul adalah hak tiap seseorang umat Rasul yang utama itu, tidak boleh dibedakan antara yang kaya yang miskin, yang mampu yang tak mampu, muda, tua, bahkan di dalam merayakan, hari lahir beliau harus kita berakhlaq dengan akhlaqnya yang setengah daripadanya ialah menyintai fakir dan miskin.

Mudahan di lain tahun cara yang melukaï hati, kaum fuqara dan masakin ini diubah diganti dan diatur secara yang baik. Kita percaya, bahwa peraturan yang ganjil itu akan berubah, karena di sana tidak sedikit alim ulama kita, yang utama-utama mereka harus memberi pimpinan kepada orang kita, jangan orang kita yang memimpin ulamanya dalam arti kata ulama menurut adat dan kebiasaan yang keliru.

Dan moga pula umat Islam Sedayu insyaf akan nasihatnya kedua mubilligh tahadi tentang kedudukannya miskin, tidak pula menelantarkan fakir miskin apalagi menyia-nyiakannya. “Jangan engkau menghinakan orang fakir kalau-kalau masa menjatuhkan kamu sedang ia diangkatnya” (Syair). Wassalam. (Naashichoen-Amien).

 

Tanggapan

Segenap umat Islam Sidayu menyatakan terima kasihnja kehadapan yang mulia Tuan Naashichoen Amien (apa bukan kukuk beluk?/burung hantu yang menunjuk nama samaran) atas beliau punya peringatan dan pemandangan yang lengkap di dalam B. N.O. No. 16/VIII (tahun 1939) di halaman Eksra pagina yang bertitel ‘Perayaan Maulud yang Aneh’. Moga Tuhan seru sekalian alam melimpahkan ganjaran-Nya kepada tuan itu. Amien.

Ada perlunya kita minta maaf lebih dahulu kepada pembaca, karena temponya yang utama kita gunakan untuk membaca artikel ini, sekadar untuk menjadi penerangan kepada umum dan tidak pula terus menerus salah faham atas berita yang telah disiarkan itu. Di sini kita akui kebenaran isi artikel ‘Perayaan Maulud yang aneh’, kecuali tiga perkara yang tidak dapat kita benarkan: yaitu membeli kartjis, menelantarkan fakir dan miskin dan maſhumnya perkataan tuan Nasichoen di dalam artikelnya tersebut berarti bahwa kita sudah menerjang garis syara’ Islam (moenkar).

Baca Juga :  Varia Seabad Media NU: Tulisan Media Tahun 1953

Untuk menjelaskan itu, baiklah pembaca kita bawa menilik uraian kita di bawah ini.

Tentang yang pertama. yaitu tuduhan menjual karcis, itu tidak benar. Kita tidak menjual karcis, hanyasanya karcis itu sekedar selaku keterangan atau mandat guna orang yang turut urun (derma) sebagaimana kebiasaannya kongres atau besloten vergadering (pertemuan tertutup, Red.) yang bersifat barang siapa tak membawa mandat atau keterangan, tentu tidak boleh masuk. (Qiyas ini terpaksa kita nyatakan tidak tepatnja. Sebab mandat kongres atau leden-vergadering (pertemuan anggota, Red.) itu adalah secarik surat wakalah dari pihak pengutus untuk menyatakan kebenaran kedudukan pihak yang pegang mandat di dalam kongres atau leden-vergadering, selaku utusan pihak yang memberikan mandat tahadi. Padahal karcis urunan itu adalah secarik surat yang diperdapat dengan memberi derma f 0.15, misalnya, teruntuk bagi siapa pun juga, dan adalah sebagai tanda bahwa ia sudah bayar urunan itu). Lagi pula aturan sebagai itu, lebih dahulu telah kita umumkan kepada segenap penduduk Sidayu di berbagai tempat, begitu pun pula kepada orang Sidayu di Surabaya, dengan siaran mana, tiap-tiap umat Islam jang insyaf tentu tertarik perhatiannya, dan tidak pula mereka akan sayang turut urun f 0,15 untuk merayakan dan menghormati Nabinya, Sayydi’l wujud SAW dengan bersama-sama antara si miskin, fakir, kaja tentu ingin termasuk di dalam hadis: “Barangsiapa menbelanjakan satu dirham di dalam hari kelahiranku, maka baginya syafaatku di hari kiamat.”

“Belum sempurna iman seorangmu, sehingga aku lebih dicinta dari pada bapak, anak dan hartanya.” Sekarang, siapakah diantara orang Islam yang tidak ingin masuk di dalam hadis yang pertama? Lebih perlukah mengisi perut dari pada menghormati Nabinya? (Dan sebesar menghormati Nabi ialah menjunjung tinggi titahnja, dan bagi orang miskin yang hanya sekadar cukup dimakan, tentu saja lebih wajib manafkahi kewajibannya daripada amal sunnat, bukan?) akan tetapi si tuan Nasichoen Amien atau kukuk beluk, memang lebih suka duitnja daripada mengormati Nabinya, sebab segala sesuatu minta gratis (Tapi sangat boleh jadi pula bukan karena demikian, akan tetapi karena dari kasih sayangnya fakir miskin yang terpaksa tidak bisa mendengarkan nasihat dan tidak bisa turut merayakan Nabinya sebab karena kemiskinannya. Sebab, bagi rakyat Indonesia terutama di desa uang f 0.15 adalah suatu jumlah yang besar).

Baca Juga :  Varia Seabad Media NU: Media Harus Tetap Kritis

Terhadap pada yang kedua, yaitu menelantarkan orang fakir miskin, percayakah pembaca akan itu tuduhan? Wal-iyazdu billah! Jikalau pun ada juga tuduhan itu, kiranya dari tidak baiknya moralnya pendakwa, terutama jikalau penuduh itu dari pihaknja oppositie……. (tidak kita muat sebab menyimpang dari garis zakelijk).

Sekarang sampailah kita kepada bahagian ketiga yaitu melakukan munkar, tidakkah K.H. Goefron dan H.M. Shiddieq yang di kala itu datang merayakan di tempat itu, menjalankan nahi munkarnya, jikalau sungguh perbuatan kita itu munkar akan tetapi diamnja beliau dikala itu, adalah bukti senyatanya bahwa perbuatan kita tidak sekali munkar of menerjang syara’ Islam.

Sekianlah kiranya sudah mencukupi untuk menjelaskan duduknya perkara yang benar. (Moeslimin Sidajoe).

Catatan Redaksi

Pihak yang membawa artikel di atas, menerangkan juga kepada kami, bahwa kalimatnya boleh kami ubah, maka perkenan itu kami gunakan sebagai juga yang dulu, dan ia pun menaruh sangka pada se- seorang yang dikira ialah yang mengirimkan surat kirimannya yang dibalas di atas.

Maka di sini perlu kami terangkan, bahwa sangka sangka itu tidak benar, kami tak dapat menunjukkan namanya karena kewajiban redaksi, sebagai juga namanya pengirim balasan ini. Nasihat kami, hendaklah sesuatu kritik disambut dengan dingin dan dipelajari yang baik sebab tidak semua salah dan tidak semua karena sakit hati bahkan pada umumnya dengan maksud baik, istimewa pula kirimannya Nasihoen itu zakelijk (tidak personal atau obyektif, Red) semata-mata dan bersifat membangun (opbouwendige kritiek). (Musthafa Helmy)

Leave A Reply

Your email address will not be published.