Kejujuran dalam Kepemimpinan

0

 

Oleh: Dr. KH Idham Chalid

 

Pengantar

Tulisan dengan judul ‘Kejujuran’ merupakan editorial majalah Gema Muslimin edisi November 1953. Majalah itu dipipimpin trio KH Idham Chalid, KH Saifuddin Zuhri dan KHA Hamid Wijaya.

Dr. KH Idham Chalid adalah ketua umum PBNU terlama sejak 1956 hingga tahun 1983. Majalah Gema Muslimin (bersama harian Duta Masyarakat) terbit setelah NU memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri. Pernah menjabat Wakil Perdana Menteri hasil Pemilu Pertama 1955. Karir Idham dalam politik sangat moncer melebihi tokoh siapa pun.

Ia wafat 11 Juli 2010 bertepatan dengan 28 Syakban 1431 H pada usia 88 tahun, dimakamkan di komplek pesantren Darul Quran, Cisarua, Bogor, miliknya. (MH)

 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz kedatangan tamu dari daerah taklukannya yang jauh, untuk melaporkan kepadanya perkembangan dan keadaan Pemerintahan Daerah di wilayahnya. Setelah segala sesuatu soal pemerintahan dengan lengkap dan selesai dilaporkan, maka sekadar untuk berbasa-basi tamu tersebut mulai menanyakan kesehatan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, keadaan keluarganja dan sebagainya.

Khalifah bertanya: “Sudahkah selesai seluruhnya laporanmu mengenai soal rakyat dan Pemerintahan?”

Si tamu mendjawab: “Selesai, tuanku!”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz lalu memadamkan lampu di muka mereka sambil berkata: “Oleh karena kita sudah mulai membicarakan soal lain yang tak ada hubungannya dengan pemerintahan dan rakyat (bukan soal dinas), maka haramlah kita mendapat penerangan dari minyak rakyat. Marilah kita terus berbicara dalam gelap saja, sebab kebetulan aku pun miskin pula, tak punya minyak milikku sendiri.”

Satu bukti kejujuran dan amanah yang menjadi kebanggaan sejarah Islam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah dari Bani Umayyah, terkenal dengan kejujurannya yang sulit tandingannya dalam sejarah. Sampai oleh Muarrihien (sejarawan, Red) dia digelar khalifahirrasyidin yang kelima.

Kejujurannya terkenal terutama dalam memelihara hak milik negara dan memberikannya hanya kepada yang berhak memiliki, dengan tidak berani menambah atau mengurangi sedikit jua pun. Demikian pula kejujurannya dalam menjalankan hukum dan keadilan terhadap seluruh rakyat, dengan tidak pilih bulu dan tidak mengenal perbedaan.

Banyak scene dalam hidupnya jang diabadikan oleh sejarah, yang jadi buah mulut cermin perbandingan bagi ummat manusia, terutama ummat Islam yang seyogianya menjadi penegak dan pembela kejujuran dari masa ke masa. Ummat Islam terutama, karena dialah satu-satunja ummat jang mendapat gelaran khaira ummatin, mendapat julukan Ummatan wasathan.

Khaira Ummatin (sebaik-baiknja Ummat) atau the best community tidak akan bisa tercipta tanpa kejujuran. Kejujuran yang kita maksudkan ialah yang meliputi tiga unsur (elemen) sebagai berikut:

Pertama, amanah (memegang kepercayaan). Dua, ‘adalah (menjunjung keadilan). Ketiga, istiqamah (mengutamakan kelurusan, kelempangan). Ketiga unsur inilah batu semen yang maha utama bagi pembinaan gedung masyarakat yang bernama: khaira ummatin. Suatu ummat tidak akan bisa tegak, kalau tidak bersendi kejujuran. Lebih-lebih lagi kejujuran itu harus dimiliki oleh orang-orang yang memegang kekuasaan.

Karena menurut Islam, memegang kekuasaan berarti memikul amanat. Amanat yang dipercayakan oleh seluruh rakyat yang tunduk dibawah kekuasaannya. Memegang kekuasaan bukan berarti: mengambil kesempatan sebanyak-banyaknja untuk hidup semewah-mewahnya, dengan mempergunakan segala hak milik negara seenaknya dan sekehendak hatinya.

Justru untuk menghapuskan kekuasaan sambil memperkosa hak milik rakyat itu, untuk nemperbaiki pengertian yang keliru itulah, syari’at Islam diciptakan Tuhan. Seorang lemah, Rakjat murba biasa, kalau tak ada kejujuran, tak ada amanah sudah cukup membahayakan buat masyarakat, apalagi kalau yang tidak jujur itu, orang jang memegang kekuasaan, atau dengan lain kata: Orang jang harus menjaga kejujuran, justru tidak mempunyai sifat kedjudjuran.

Seorang hukama pernah berkata: “Kalau saya disuruh memilih antara seorang hakim yang tidak jujur dengan 1000 rakyat tidak jujur, biarlah saya memilih 1000 rakyat itu. Karena dengan kekuasaan jang jujur, 1000 rakyat yang tidak jujur bisa dikendalikan, tetapi dengan satu Hakim (penguasa) yang tidak jujur, seribu rakyat yang jujur akan ikut terseret.

Theoritis dan faktis kata Hukama tersebut, tak bisa disangkal. Dewasa ini, diseluruh dunia sebagai akibat perang dunia kedua, bercabul kecurangan-kecurangan sebagai salah satu symptomen dari krisis akhlaq.

Di mana-mana pemimpin-pemimpin besar setiap negara berteriak-teriak menyeru perdamaian. Sedang perdamaian yang diteriakkan itu kian hari kian jauh. Karena satu perkara mereka lupakan, bahwa: perdamaian yang hakiki tidak mungkin tercipta, tanpa kejujuran. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.