Keluarga Besar NU dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) DKI Jakarta memperingati haul ke 23 pendiri PMII H. Mahbub Djunaidi di Aula Kampus UNUSIA Jakarta. Selain doa dan tahlil acara diselingi pembacaan tulisan (manaqib) karya Mahbub Djunaidi. Diantara karya-karyanya Payung Hitam, Hari-Hari Di Musim Panas dan lain sebagainya.
Acara dimulai pukul 20.00 diawali sambutan Lurah Omah Aksoro Fariz Al-Nizar. Ia mengatakan mulai tahun 2015 tradisi untuk memperingati kebaikan-kebaikan Mahbub Djunaidi muali dilakukan, tahun 2016 omah aksoro berhasil membuat sebuah film dokumenter yang sampai saat ini belum ada yang membuat. “Ini adalah ide yang sangat brilian dan patut kita buat dan kita lestarikan,” ujarnya
Menurut Fariz, selain mendoakan, haul malam ini untuk mengenang karya-karya Mahbub Djunaidi, karena Mahbub bisa berbicara apasaja dengan meminjam paradigma dan seperangkat konsep dari disiplin ilmu apa saja untuk ngomong seenaknya, analisisnya tajam pandangannya jernih, datanya mendalam, corak bahasanya renyah tak tertahankan.
“Empat kekuatan tulisan mahbub itulah yang kemudian menghantarkan memperoleh julukan “Pendekar Pena”. Ibarat didunia persilatan, mahbub adalah salah satu pendekar dari sebuah pendepokan yang tersohor, kaya ilmu sekaligus melimpah teknik,” ungkapnya
Menurut Hairus Salim tokoh PMII Jogjakarta mengatakan membaca kembali essay-essay Mahbub seperti mengenang suatu zaman, dimana ide harus ditulis dengan cerdas, kritik penting dibungkus dengan kocak, dan sinisme perlu dibangun dengan perlu dibalut dengan kepiawaian mentertawakan diri sendiri.
Dalam segala hal Mahbub adalah segalanya, ide yang ditulis dengan cerdas dan kritik yang dibungkus dengan kocak adalah dua kata kunci yang agaknya semakin sulit kita jumpai saat ini. “Sepeninggal Mahbub kita kemarau akan sosok-sosok pemintal ide yang cerdas sekaligus penjahit kritik yang dibungkus dengan nuansa yang kocak. Bangsa kita hari ini sudah mengalami wabah devisit ide dan juga komentar,” ungkapnya
Menurut Hairus Salim, Mahbub Djunaidi juga berani mengomentari seorang penulis terkenal Indonesia bernama Rosihan Anwar untuk sebagai contoh yang berjudul “Perbedaan Analisa Politik Antara Soekarno dengan Hatta” yang berbentuk artikel yang dimuat di koran Kompas pada 15 September 1980. Yang berkomentar bahwa tulisan sahabatnya tersebut dapat membuat tidak bisa membuang hajat besar selam 2 hari lamanya. Pencernaanya kacau balau dan anus saya kehilangan elastilitasnya. “Begitulah Mahbub Djunaidi yang sama-sama kita peringati segala kebaikannya dengan rasa tenang, syukur, dan bahagia disana Bung Mahbub Djunaidi,” ucapnya
Acara malam doa dan tahlil untuk H. Mahbub Djunaidi ditutup dengan tampilan pembacaan puisi yang dibawakan oleh Amsar A. Dulmanan dan Imdadud Rahmad yang juga salah satu aktivis PMII DKI Jakarta dan salah satu Dosen UNUSIA Jakarta. (Lutfy al-Fadhany)