Sebagaimana diketahui oleh umum bahwa sejak Belanda datang dan menguasai Indonesia, maka para Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam selalu menentang kekuasaan Belanda itu dengan mengadakan perlawanan di sana sini.
Misalnya perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di Jawa, perlawanan yang dipimpin oleh Imam Bonjol di Sumatera Tengah, perlawanan Sultan Hasanuddin di Sulawesi, perlawanan Tengku Umar didaerah Sumatera Utara, perlawanan Pangeran Hidajat di Banjarmasin dan perlawanan-perlawanan yang dipimpin oleh para ulama-ulama lainnya yang kesemuanya itu bertujuan membebaskan Indonesia dari penjajahan.
Setelah perlawanan di atas tadi tidak menghasilkan tujuannya disebabkan perlengkapan alat-alat kita tidak seimbang dan liciknja politik penipuan dan pemecah belah dari pihak Belanda terhadap kita, maka sejak itu pemimpin-pemimpin Islam menjalankan taktik baru dengan memusatkan se gala usahanja kepada mendidik kader-kader yang tidak mengenal kerdja sama dengan Belanda.
Para ulama menggembleng pemuda-pemuda, santri-santri dan muridnya hingga menjadi golongan yang kuat yang tidak mengenal dan anti cara berfikir, cara berpakaian dan adat istiadat Barat, sehingga mereka merupakan pula sebagai golongan yang tidak mau mengenal segala sesuatu yang ala Barat.
Keadaan ini telah pula diketahui dan diinsjafi oleh Belanda, hingga Belanda pada akhirnya mengadakan tindakan dan penyelidikan terhadap guru-guru para ulama yang sedikit besar merupakan tekanan bagi para ulama.
Selama pemimpin-pemimpin Islam tidak lagi menunjukkan kegiatannya, maka mereka selalu utamakan kegiatannya di lapangan keagamaan yang seakan-akan hanya mengutamakan soal-soal Ibadah, serta perhatian mereka pada soal-soal tauhid yang menuju keTuhanan saja.
Akan tetapi setelah sampai begitu jauh pihak penjajah berkuasa dan menggencet bangsa Indonesia demikian rupa, di mana bukan saja bangsa Indonesia saja kehilangan kekuasaan politik, tetapi juga kehilangan mata pencaharian ekonomi sehari-hari, sampai pun urusan agamanya dicampuri, sehingga membawa kegelisahan di kalangan masyarakat yang mau tidak mau hal itu membangkitkan jiwa para ulama yang kedudukannya memang sebagai pemimpin rakyat untuk bangkit bergerak.
Mengingat suasana telah berubah di mana keadaan perkembangannya sudah berlainan daripada keadaan zaman sebelumnya itu maka taktik perjuangan bangsa Indonesia mengalami perubahan-perubahan pula. Kegiatan-kegiatan mereka dengan mengadakan perlawanan secara kekerasan bersenjata terhadap penjajah, diubah melalui saluran kepartaian dan organisasi yang teratur rapi untuk melaksanakan cita-cita terbebasnja Indonesia dari penjajahan. Maka di Indonesia timbullah bermacam-macam organisasi seperti Budi Utomo, Serikat Islam dan lain-lain.
Kesempatan baik ini dipergunakan juga oleh para ulama untuk menyusun barisan kadernya dengan membentuk NAHDLATUL ULAMA pada tahun 1926 yang bertujuan menegakkan syariat Islam dengan berdasar kan salah satu dari empat Mazhab. Kegiatan NU pada waktu itu ialah ditujukan kepada mengembangkan agama Islam dengan memperbanyak tabligh-tabligh, agar ummat Islam sadar kembali akan kewajibannya terhadap agama, bangsa dan tanah airnya, sehingga mereka dapat beramal sebagaimana mestinya.
Sungguhpun di waktu itu NU tidak memproklamirkan dirinja sebagai partai politik, akan tetapi dalam usahanja bukan saja soal-soal yang berkenaan dengan ubudiyah, tetapi juga mengenai soal-soal yang langsung berhubungan dengan peri kehidupan ummat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, misalnya penolakan NU terhadap diadakannya pajak rodi yang dikenakan terhadap bangsa Indonesia di seberang dan rencana ordonansi perkawinan tercatat, pemindahan hak membagi waris, soal milisi dan lain-lain lagi.
Dan dalam hal ini NU bukan saja telah menunjukkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan di dalam negeri semata-mata, akan tetapi juga terhadap persoalan-persoalan luar negeri yang langsung mempunjai perhubungan dengan persoalan ummat Islam Indonesia.
Misalnja ketika tanah Hidjaz mulai dikuasai oleh kaum Wahabi, dimana banyak dilakukan perubahan-perubahan terhadap masyarakat Islam di sana untuk mengamalkan agamanya sehingga ummat Islam di antaranya bangsa Indonesia di tanah suci itu seakan-akan tidak lagi merdeka menjalankan agamanya menurut mazhab yang mereka anut masing-masing, maka NU telah memutuskan untuk mengirimkan utusan ke Hijaz buat menghadap Raja Ibnu Saud untuk mengajukan beberapa soal dan desakan agar supaya Pemerintah Saudi Arabia memberikan keleluasaan kepada Ummat Islam untuk menjalankan ibadahnya yang sebebas-bebasnya dan menuntut supaya orang-orang yang sedang menjalankan haji itu mendapat pelayanan selayaknja dan supaya pemerintah Hijaz mengeluarkan tarip dan petundjuk sebelum musim haji.
Maksud tersebut telah berhasil baik setelah diadakan perundingan dengan Raja Ibnu Sa’ud. Malah dalam hal ini pemerintah Saudi Arabia telah mengadakan penetapan-penetapan yang menjamin kebebasan kepada ummat Islam untuk menjalankan ibadahnya sebebas-bebasnya seperti jang termaktub dalam suratnya no. 2082 tanggal 24 Dzulhidjah 1347 Hidjrijah (13 Juni 1928) jang telah dikirimkan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
NU selama itu selalu melaksanakan usahanya dengan cara-cara yang lazim dipergunakan dalam Islam yaitu secara demokratis, secara bermusyawarah. Telah berkali-kali NU mengadakan kongresnja dengan mengambil beberapa keputusan untuk perbaikan bangsa Indonesia umumnya dan ummat Islam khususnya. Malah diwaktu GAPI menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda, Indonesia ber-parlemen, NU tidak ketinggalan menyokongnya.
Disamping usaha-usaha tersebut tadi, NU juga mendirikan beberapa madrasah-madrasah di setiap cabang dan rantingnya dengan maksud untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat dan mempertinggi budi pekerti mereka. Adapun cabang-cabang NU waktu dalam pemerintahan Hindia Belanda sudah ada sedjumlah 120 cabang tersebar diseluruh Indonesia yang pada umumnya daerah cabang tadi meliputi daerah kabupaten atau yang sederadjat dengan itu. (Dikutip dari majalah LINO (Lailatul Ijtima’ NO) nomor 3 tahun 1971)