Malaise, Penetrasi, Koloni

0

Naluri berkuasa tak hanya pada binatang. Setiap makluk di permukaan bumi memiliki naluri paling tua di dunia. Juga manusia, binatang berpikir, menanggung naluri bukan hanya berkuasa atas orang lain, melainkan juga suatu kawasan di bumi.

Maka berkelanalah sekelompok manusia yang tak puas dengan bumi yang dipijaknya. Orang-orang kulit putih menyeberangi samudera luas, mencari kawasan-kawasan yang memungkinkan untuk, bukan sekadar bertahan, melainkan juga menguasai. Columbus pun berpencar dari negerinya untuk menguasai Benua Amerika dan penindasan pun dimulai terhadap pribumi Amerika, orang Indian. Ya, merreka orang Indian Amerika, Amerindian, Amerin, aborigin Amerika atau First Nation, anggota dari salah satu masyarakat aborigin di belahan Barat.

Juga orang-orang kulit putih berkuasa Benua Australia, menindas orang-orang Aborijini. Koloni selalu beriring dengan penindasan. Yang tertindas pun semakin menyempit, sedikit dan nyaris hilang. Sepi dari perbincangan. Tak ada aspirasi bagi mereka dalam peran politik dan demokrasi. Mereka dinafikan begitu saja.

Dalam kekuasaan Hindia Belanda, bumi Nusantara terlalu lama dikuasai Belanda. Tapi, orang-orang kulit kuning, Jepang, mempunyai strategi sebelum berebut kuasa di bumi Indonesia. Saat terjadi malaise, keboborokan ekonomi atau depresi berat, di tanah jajahan ini pada 1930an, orang-orang Jepang sudah berperan di tengah pergerakan masyarakat yang ingin berubah. Mereka bergerak di bidang ekonomi dan bisnis. Jepang membaca situasi, sebagai faset penetrasi di daerah jajahan Belanda ini.

Barang-barang yang berasal dari Jepang pada masa depresi di Hindia Belanda dijual dengan harga yang sangat murah. Memang, pemasukan barang dari Jepang itu, dalam istilah Bung Karno, adalah suatu deus ex mouchina, suatu dewa penolong dari kahyangan.

Sejarah mencatat, pada 1931 Jepang mendapatkan keuntungan 16,4% dari seluruh total import kemudian dalam tiga tahun terakhir 31% dari total nilai-melebihi import dari gabungan tiga negara, yaitu: Belanda, Inggris dan Jerman.

Jan O.M. Broek menunjukan data, perdagangan Jepang di Hindia Belanda sejak 1909 hingga masa depresi terus mengalami kenaikan. Pada saat itu orang-orang Jepang baru berjumlah 614 orang yang terdiri dari perempuan 448 orang dan lelaki 116 orang. Peter Post, dalam kajiannya, Japanese Bedrijvigheid in Indonesie, voor ourlogse economische expansie in Zuidoost Azie, menyebutkan bahwa perempuan-perempuan Jepang itu mayoritas berprofesi sebagai pelacur.

Pada akhir abad ke-19 jumlah penduduk Jepang di Batavia berjumlah 56 orang yang terdiri dari lelaki 12 orang dan perempuan 34 orang, di Surabaya 3 orang. Sedangkan penduduk Jepang di Hindia Belanda pada saat itu 463 orang, penduduk lelaki 87 orang dan perempuan 376 orang. Tempat pelacuran alias ”kepelesiran” ini sebagian besar diorganisir oleh orang-orang China. Memang jelas, orang-orang China sebagai penyelenggara tempat-tempat perjudian, minum candu, rumah bordir atau yang lain. Hal ini memang diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda walau dengan berbagai persyaratan. Demikian Lembaran Negara tahun 1884 No. 182, dalam catatan Sarjana Sigit Wahyudi.

Baca Juga :  Kesimpulan Pansus, PBNU Minta Muktamirin Kembalikan PKB ke Khittah 1998 

Pemerintah Jepang berusaha mendirikan konsulatnya di Batavia dengan tujuan untuk melindungi para migrasi legal yang sebagian besar terdiri dari para pedagang. Mereka memperjual-belikan beberapa macam barang dagangan yang berasal dari Jepang, seperti obat-obatan, gula-gula, mainan anak-anak, porselin dan tekstil. Beberapa dari mereka dapat mengumpulkan modal dengan cepat dan kemudian membuka toko — dikenal dengan nama toko Jepang.

Pada 1913 di Semarang terdapat toko-toko Jepang dan pekerjanya paling  banyak. Namun, kemudian pada 1917 hal semacam itu paling banyak terdapat di Surabaya. Keadaan itu menunjukkan bahwa sejumlah toko berkembang dengan pesat yang berawal dari pengecer dengan sejumlah kecil barang import kemudian berubah menjadi pengimport barang untuk dijual secara grosir.

Surabaya sebagai kota pelabuhan perdagangan yang paling besar di Hindia Belanda merupakan pusat ekspor dan impor, sehingga lebih menguntungkan untuk bisnis eksport-import bagi Jepang. Ini didukung oleh kenyataan bahwa dari 29 orang di Jawa yang diklasifikasikan sebagai “pedagang besar” pada 1918, 19 orang terdapat di Surabaya.

Cukup menarik bila kita dalami telaah Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi tentang Orang Jepang di Asia Tenggara. Sejak zaman Meiji bangsa Jepang mulai datang di Hindia Belanda. Mereka hidup berdagang dan mendirikan toko-toko kelontong terbesar di Surabaya. Pada 1919 kondisi di Batavia dipromosikan menjadi konsulat jenderal. Ketika itu pula konsulat baru didirikan di Surabaya.

Meningkatnya arus perdagangan Jepang ke Hindia Belanda diikuti oleh migrasi penduduk Jepang ke daerah tersebut. Untuk melindungi kepentingan perdagangan, penduduk diperlukan hubungan bilateral secara baik. Pertumbuhan perdagangan Jepang di wilayah Hindia Belanda akibat Perang Dunia I, ketika itu produksi dari Eropa dihentikan ke wilayah Hindia Belanda.

Kegiatan perdagangan Jepang terintegrasi secara baik dalam bisnis secara intraregional yang didukung oleh orang-orang konsulat, ikatan dagang, pers dan Nanio Kyokyai (Asosiasi Laut Selatan). Oleh karena itu, ekspor perdagangan Hindia Belanda ke Jepang juga meningkat. Bahkan akhir tahun1940-an Jepang menginginkan semua komoditas yang diperlukannya dapat dipenuhi oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, permintaan ini ditolak karena disinyalir bahwa barang-barang tersebut untuk memperkuat Jepang dalam menghadapi Perang Dunia II.

Masa-masa penetrasi Jepang di bumi Nusantara, berlanjut ketika The Tokyo Moslem Community and the Dai Nippon Kaikyo Kyokai (Perhimpunan Islam Nippon/PIN)  mengundang sejumlah tokoh Islam dari Indonesia, melalui surat pada tanggal 1 September 1939. Selama 20 hari, dalam perhelatan The Islamic Exhibition, utusan Madjlis Islam A’laa Indonesia (MIAI) mengunjungi sejumlah kota di negeri sakura itu. Mulai dari Kobe, Osaka, Tokyo, Nagoya, Hakone hingga Atami.

Baca Juga :  Kuasai Teknologi Informasi, Maka Dakwah akan Menang

Selain KH Machfoed Shiddiq (Presiden Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama), MIAI mengutus H.M. Farid Ma’roef, H. Abdulkahar Moedzakkir, M. Ahmad Kasmat, dan Abdullah bin Oesman Alamoedi memenuhi undangan Perhimpoenan Islam Nippon itu. Pendelegasian lima pengurus MIAI ke The Islamic Exhibition tertuang dalam Mandaat tertanggal 1 November 1939.

Penandatangan mandat adalah W. Wondoaminseno dan Sastradiwirja, masing-masing selaku pimpinan dan sekretaris. Selain dari Indonesia, total ada sembilan utusan yang hadir pada The Islamic Exhibition: Yaman, Turkistan, Manchuokuo, Canton, Peking, Turko-Tatars, Mongolia dan Afganistan.

Dalam The Islamic Exhibition dibahas masalah kebudayaan, ilmu pengetahuan, persaudaraan, perniagaan, perdagangan, pelajaran dan pelbagai isu lain, kecuali sosial dan politik. Rangkaian eksibisi ini sebetulnya juga bagian dari misi perdagangan Jepang ke Indonesia. Farid Ma’roef mencatat, pada siang 13 November di New Osaka Hotel, utusan-utusan bertemu saudagar-saudagar Jepang:

“Dalam pertjakapan itoe, boleh saja mengambil kesimpoelan bahwa: Bangsa Indonesia masih koerang perhatiannja terhadap perdagangan [..] beloem ada jang mengambil dagangan dari Japan, laloe didjoelnja kepada bangsanja, di Indonesia”. (Farid Ma’roef, Melawat ke Jepang).

Masa penetrasi Jepang dilakukan sebelum saatnya untuk melakukan pendudukan pada 1942-1945 di Indonesia. Penetrasi berlangsung cukup waktu, sekaligus membaca peta kekuatan di masyarakat secara umum. Islam sebagai kekuatan mayoritas, telah menjadi pertimbangan khusus bagi Jepang.

Namun, bagi Kiai Mahfoedz Shiddiq masa-masa itu menjadi peluang untuk memelajari strategi penguasaan dan pemajuan bagi kehidupan keumatan. Lahirlah gerakan Mu’awanah, gerakan tolong-menolong, gotong-royong, pun dibentuk guna menopang konsep Mabadi’ Khaira Ummah: bertumpu pada trilogi sikap, ash-shidqu, al-amanah dan al-wafa’ bi al-ahdi.

Kiai Machfoed Shiddiq memang ulama kosmopolit. Berbusana rapi, berjas dan berdasi, di tengah pergaulan bergengsi. Cakrawala pemikirannya seiring dengan tampangnya yang tak lazim bagi kaum santri ketika itu.

Pemimpin inovatif ini, berhasil mengembangkan penerbitan berkala, majalah Berita Nahdlatoel Oelama, beredar di Jawa, Madura hingga Lampung Selatan. Sebelumnya, ia memimpin majalah Soeara Nahdlatoel Oelama, memakai side account: Garagus terkadang Abu S. Barri ketika menulis.

Belajar homeschooling di bawah bimbingan ayahnya, KH Shiddiq Jember, Kiai Machfoed Siddiq menulis buku Pedoman Tabligh, serta buku tentang Ijtihad dan Taqlid sebagai pegangan warga NU ketika menghadapi kaum yang sering menyalahkan amalan orang-orang pesantren.

Kiai Machfoedz Shiddiq, membawa Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) bersimpati kepada bangsa Palestina yang saat itu dijajah Israel. Pemimpin muda – usia 30 tahun ditunjuk langsung oleh Hadlratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai President Tanfidziyah HBNO— yang menggerakkan penggalangan dana sosial  untuk disumbangkan kepada Bangsa Palestina dengan membuat kebijakan, bahwa setiap Isra Mi’raj bulan Rajab (dikenal sebagai Pekan Rajabiah), seluruh Ranting NU dan  kaum pesantren dan umat Islam menggalang dana untuk disumbangkan kepada Palestina.

Baca Juga :  Haji Ramah Lansia: Totalitas Layani Jemaah  

Kiai Machfoed Shiddiq berkesempatan memelajari faktor-faktor perkembangan dan kemajuan di Jepang. Namun, ironis, ia pun harus mengalami kekejaman yang berat oleh tentara Jepang, dipenjara. Saat keluar dari penjara, kondisi Kiai Machfoedz dalam keadaan sakit yang teramat parah. Dan itulah yang kemudian menyebabkannya meninggal dunia pada 1944 — ketika berusia 37 tahun. Kiai Machfoed Shiddiq wafat membawa luka-luka siksaan tentara Jepang.

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, beberapa bulan setelah Kiai Machfoedz Shiddiq wafat, KH Hasyim Asy’ari menangis tersedu-sedu mengingat betapa pedihnya siksaan Jepang kepada santrinya itu. Apalagi, tokoh yang di mata Kiai Wahid Hasyim sebagai problem-solver dan organisatoris yang genial. Ketika Indonesia merdeka KH Machfoedz Shiddiq tak bisa merasakan manisnya kemerdekaan.

Pribadi Kiai Machfoed Shiddiq menegaskan, manusia tak akan terlepas dari budaya. Karena budaya ada sebab manusia berkreasi dan maju. Organisasi pun bisa maju apabila budaya kerja terkembang seperti memegang komitmen, disiplin, transparan, jujur, menepati janji, tolong menolong (at-ta’awun).

Umat Islam tdak boleh canggung dalam berbudaya organisasi mulai dari penampilan, performan sampai kepada etika bekerja gunakanlah budaya yang membangun iklim organisasi. Budaya itu adalah karakter manusia. Berbudaya adalah membangun iklim kinerja organisasi, dengannya maka bisa menjadi NU berkualitas dan masyarakat maju.

Berbudaya dan berdisiplin itu justru esensi ajaran Islam bahkan perbedaan kaum jahiliyah dan umat Islam adalah terletak pada budayanya (karakter, watak, perangai, nilai-nilai, keyakinan, norma-norma, asumsi) yang dikembangkannya.

Menghikmati sejarah, kita tahu, sebelum menjadikan suatu kaawasan atau wilayah menjadi koloni, terdapat jalan strategi yang dilalui. Termasuk penetrasi dan penguasaan ekonomi. Makan, militer kemudian berperan untuk menguasai pada ujungnya.

Bila kita saat ini menyaksikan orang-orang dari negeri China datang berbondong-bondong sebagai tenaga kerja di sejumlah daerah di Indonesia, agaknya merupakan fase khusus sebagai penetrasi. Bukankah penguasaan perekonomian Indonesia sekarang berada di tengah kelompok yang dikenal sabagai Sembilan Naga atau berkembang menjadi 18 Naga?

Menghikmati sejarah bermakna kita menatap masa depan dengan kehati-hatian. Bersikap bijak dan mampu mengantisipasi perubahan dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam.

  • RIADI NGASIRAN (Nahdliyin Journalist cum Historian, tinggal di Surabaya).

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.