Berzikir Kepada Allah Sebagai Simbol Kecintaan Kepada-Nya

0

Hadirin yang di rahmati Allah. Di dalam surat al-Nisa, ayat 103 Allah SWT. berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya”. Menyikapi ayat ini, Mujahid R.A. berkata: Dzikir yang banyak adalah engkau tidak pernah lupa kepada Allah selamanya. Maksud pernyataan Mujahid ini adalah adalah bahwa zikir merupakan wasilah atau perantara mengingat Allah SWT.

Tatkala seseorang berzikir dengan tulus, pada hakikatnya ia sedang mengarahkan hati kepada-Nya, serta merasakan kehadiran-Nya dalam laku lampah keseharian. Dengan demikian, maka perasaan cinta kepada Allah akan tumbuh, sehingga keimanannya bertambah dan hidupnya menjadi tenang. “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram”. (QS. Al-Ra’du, 13:28).

Pentingnya mengingat Allah yang termanifestasi dalam zikir merupakan aktivitas yang harus dilakukan oleh orang-orang mukmin. Dalam hal ini, Rasulullah s.a.w. menegaskan sabdanya di dalam sebuah hadits: “Perbanyaklah kalian berdzikir kepada Allah SWT. sehingga manusia mengira engkau sedang gila”. (HR. Ibnu Hibban). Hadits ini menurut Ibnu Hibban dinilai sahih, sehingga ia memasukkannya ke dalam karyanya yang bernama “Shahīh Ibnu Hibbān”.

Hadits tersebut memberikan penekanan kepada kita umat Rasulullah SAW., untuk senantiasa berzikir kepada Allah SWT. secara istiqamah tanpa memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Maka, di sini dapat dipahami bahwa berzikir kepada Allah harus senantiasa dilakukan kapan, dan di manapun, agar senantiasa terhubung kepada-Nya.

Dalam konteks tasawuf, seringkali kita jumpai amalan dan praktik zikir yang menurut sebagian kita asing, seperti menari dan gerakan lain yang serupa dengan itu. Mereka melakukan gerakan kepala atau bagian tubuh lainnya secara berirama saat berzikir. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengalaman spiritual yang mendalam.

Contoh yang bisa kita amati dalam melihat fenomena tersebut, yaitu praktik menari berputar yang dilakukan oleh ikhwan tarekat Maulawiyyah. Mereka berputar dengan gerakan yang berlangsung lama tanpa merasa pusing, sebagai simbol pencaharian dan pengenalan terhadap Allah s.w.t. serta kecintaan yang mendalam pada-Nya. Proses seperti ini dalam hierarki tasawuf dikenal dengan Tajalli, yaitu mengingat Allah s.w.t. dan memunculkan eksistensi diri sehingga melahirkan karakteristik baru semata-mata meminta pertolongan kepada-Nya. Tentu saja, praktik zikir semacam ini ada dasarnya, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban sebagaimana dijelaskan di atas.

Baca Juga :  Perluasan Kesempatan Kerja, Dirjen Binapenta Kemnaker Rekrut 664 Tenaga Kerja Sukarela

Selama kita masih diberi kesempatan oleh Allah s.w.t. untuk hidup, maka selama itu pula kita melakukan aktivitas bernafas. Berapa kali kita bernafas selama beberapa detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun? Jika dihitung, mungkin dalam setiap jam kita bernafas ribuan kali, lalu bagaimana dengan sehari, sebulan, dan satu tahun? Maka, alangkah baiknya jika aktivitas bernafas yang kita lakukan setiap harinya dibarengi dengan zikir kepada Allah s.w.t. dan mengingat pada-Nya.

Hal itu kita lakukan semata-mata karena kita yakin bahwa kelak di akhirat, setiap segala sesuatu akan dimintai pertanggung-jawaban, termasuk nafas yang kita hembuskan selama hidup di dunia. Kerena itu selayaknya seorang hamba harus menghabiskan waktunya hanya untuk mengingat Allah s.w.t.. Namun begitu, kehidupan dunia juga tidak bisa dilupakan, sebagaimana ditegaskan oleh firman-Nya: Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. “Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”. (QS. al-Qasash, 28: 77).

Seorang hamba yang selalu mengaitkan hatinya kepada Allah, tidak akan pernah lalai, apalagi lupa untuk berzikir kepada-Nya. Di antara kita ada yang tidak sampai kepada tingkatan menautkan hati dan lisan kepada Allah setiap waktu, tapi sebagai seorang hamba yang benar-benar bertakwa kepada-Nya, kita harus berupaya berzikir, meskipun hati masih belum bisa bertaut kepadanya. Lebih baik baik kita berzikir kepada Allah meskipun belum sepenuhnya untuk mengingat-Nya, daripada tidak berzikir dan tidak ingat kepada-Nya.

Apabila seorang hamba lupa berzikir kepada Allah, maka sesungguhnya lebih berbahaya daripada tidak mengingat-Nya. Oleh karena itu, lebih baik seseorang itu berzikir dahulu, urusan mengingat dan mempertautkan hati kepada Allah, lambat laun akan datang sendiri, seiring dengan kontinyuitas zikir kepada-Nya. Apabila seorang hamba berzikir kepada Allah, meskipun ada perasaan lalai kepada-Nya, akan mengangkat rasa Hudūr atau merasa dirinya hadir di hadapan-Nya.

Baca Juga :  KHUTBAH JUMAT: BERIJIHAD DI JALAN ALLAH UNTUK MERAIH KETENANGAN

Derajat Hudūr atau perasaan seseorang hadir kepada Allah s.w.t. merupakan maqam tinggi yang dimiliki oleh para ulama dan auliya’. Mengingat Allah merupakan amalan yang membawa kedamaian dan menuntun hati seseorang kepada-Nya. Ketika seseorang benar-benar fokus pada zikir, maka dunia dan sekitarnya menjadi kurang penting. Sebagai konsekuensinya, maka seseorang akan melupakan kekhawatiran terhadap kekurangan materi duniawi, egosentris, dan emosi negatif. Ketika seseorang benar-benar terhubung dengan Allah s.w.t.,

Maka ia melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih tinggi. Kita akan sadar dan mengakui kebesaran-Nya serta merasakan hakikat keberadaan-Nya dalam kehidupan. Dalam keheningan kerinduan kepada Allah, seorang hamba akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang tidak bisa ditemukan di dunia yang yang penuh dengan tipu daya.

Sebagian ulama nan arif bijaksana menyatakan bahwa apabiula seseorang melupakan Allah, maka zikir menjadi pilihan utama untuk mengingat-Nya kembali. Aktivitas zikir membantu seseorang untuk mengalihkan perhatian dari kemewahan duniawi yang menipu, serta sebagai langkah dalam memusatkan hati kepada-Nya. Begitupun tatkala seorang hamba merasa jauh dari Allah, maka zikir merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya untuk merasakan pengalaman spiritual. Berzikir kepada Allah, harus melibatkan perasaan dan kesadaran yang mendalam.

Di sinilah, mengapa kita dituntut untuk selalu berdoa dengan tulus, tujuannya adalah agar merasakan kehadiran Allah di setiap detik dalam hidup dan kehidupan kita. “Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”. (QS. al-Kahfi, 18:2).

Zikir atau ingat kepada Allah akan menumbuhkan rasa cinta kepada-Nya. Jika perasaan cinta sudah masuk menyeruak ke dalam diri seseorang, maka tidak ada yang lain di dalamnya, begitupun dengan cinta kepada Allah s.w.t.. Dalam konteks tasawuf, cinta kepada Allah bukan sekedar perasaan saja, namun juga melibatkan komitmen yang menyeluruh, lahir dan batin, sehingga menumbuhkan ikatan yang kuat dengan-Nya.

Baca Juga :  Rakernas Lazis PBNU, Gus Yahya Minta Skema Tauzi' dan Tasharuf sesuai Rencana Strategis PBNU

Apabila seseorang cinta kepada kepada Allah, maka yang ada dalam pandangannya hanyalah Dia semata, tidak ada yang lain. Tatkala melihat laut, ia mengingat Allah, tatkala melihat gunung, Ia melihat-Nya, tatkala melihat apapun dari peristiwa alam yang menakjubkan ia selalu mengingat-Nya. Kondisi semacam ini banyak dialami oleh para ulama, cendikiawan, pemikir, ilmuwan, dan cendikiawan, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka”. (QS. al-Ali Imran, 03:191-195). Wallahu A’lam Bis Shawab.

(Seri Pengajian Syarah Al-Hikam, Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, pertemuan Ke-75)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.