QS. Ali Imran [3]: 97
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Surat Ali Imran ayat 97 di atas mengandung kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan/istitha’ah. Imam Al-Mawardi dalam tafsirnya menyebutkan tiga pendapat ulama tentang istitha’ah.
Pertama, istitha’ah dipahami sebagai finansial, yaitu berupa bekal dan ongkos kendaraan. Ini pendapat Imam As-Syafi’i.
Kedua, istitha’ah dipahami sebagai kesiapan fisik. Ini pendapat Imam Malik. Ketiga, istitha’ah dipahami sebagai kemampuan finansial dan kesiapan fisik sekaligus. Ini pendapat Imam Abu Hanifah.
Imam Al-Waqidi dalam tafsirnya menyebutkan orang yang istitha’ah ialah calon jamaah haji yang kuat secara fisik sehingga tidak mengalami kendala ketika berkendara perjalanan haji. Orang dengan istitha’ah seperti ini terkena kewajiban ibadah haji. Allah mewajibkan manusia untuk melaksanakan rangkaian manasik haji pada waktu yang telah ditentukan dan tata cara khusus ketika mereka mampu melaksanakan kewajiban tersebut. (M Sayyid Thanthawi, At-Tafsirul Wasith).
والظاهرُ أن عدمَ تعرُّضِه عليه السلام لصِحة البدنِ لظهور الأمر ، كيف لا والمفسَّرُ في الحقيقة هو السبيلُ الموصِلُ لنفس المستطيع إلى البيت وذا لا يُتصوَّرُ بدون الصِحة
Yang jelas, Nabi Muhammad saw (dalam menjelaskan istitha’ah haji) tidak menyinggung aspek kesehatan fisik karena masalah ini dianggap sudah jelas. Bagaimana tidak? Kata ‘istatha’a ilayhi sabilan’ pada hakikatnya adalah jalan atau sarana yang mengantarkan fisik orang yang mampu ke Ka’bah. Dan itu sulit dibayangkan tanpa kesehatan fisik yang bersangkutan. (Abus Sa’ud, Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Kitabil Karim).
والاستطاعة نوعان: بدنية صحية، ومالية، فلا يجب إلا على من تمكن من الركوب، وأمن الطريق، وقدر على السفر
Istitha’ah terdiri atas dua jenis: kesehatan fisik dan kemampuan finansial sehingga ibadah haji tidak wajib kecuali bagi orang yang siap berkendara, keamanan perjalanan, dan kuat menempuh perjalanan. (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsir Al-Wasith [Beirut, Darul Fikr, 1442 H]).
واستطاعة السبيل إلى الشيء: إمكان الوصول إليه، والسبيل عام يشمل الشيء البدني والمالي، فالحج فريضة على كلّ مسلم ما لم يوجد مانع من الوصول إلى الحرم، سواء أكان بدنيا أم ماليا أم بدنيا وماليا، فالبدني: كالمرض والخوف على النفس من العدو ومن السّباع، أي ألا يكون الطريق مأمونا
Istitha’atus sabil ilayhi’ berarti (sarana) yang memungkinkan seseorang sampai kepada sesuatu. ‘Sabil’ bersifat umum yang mencakup hal yang bersifat fisik, finansial, atau fisik dan finansial sekaligus. Haji wajib bagi setiap Muslim selama tidak terdapat hambatan yang menyampaikannya ke Tanah Suci baik (hambatan) fisik maupun finansial. Adapun hambatan fisik meliputi sakit, kekhawatiran atas keselamatan jiwa dari musuh atau binatang buas, maksudnya kondisi jalan tidak aman…, (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Munir, [Beirut, Darul Fikr Al-Mu’ashir, 1418 H]).
Berdasar penjelasan sejumlah ulama tafsir di atas, istitha’ah dalam kebijakan pelaksanaan haji Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen PHU Nomor 83 Tahun 2024 tentang Juknis Pelaksanaan Pembayaran Pelunasan Bipih Reguler Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi lebih dekat pada mazhab yang mensyaratkan sejumlah aspek yaitu kemampuan finansial dan kesehatan (kesiapan) fisik sekaligus.
Bagaimana dengan Haji Backpacker?
Secara fisik dan finansial telah dipenuhi oleh calon jama’ah haji, namun terkendala antrian tunggu yang lama. Diantara solusinya mereka melaksanakan haji ala backpacker. Mereka melakukan haji mandiri yang biasa disebut dengan haji backpacker. Beberapa peluang dapat ditempuh, misalnya memakai fasilitas kuota haji di negara yang minoritas muslim seperti Hongkong, Korea, Jepang dan Taiwan.
Adapula yang memanfaatkan fasilitas kuota undangan dari pemerintah Arab Saudi yang biasa disebut dengan haji Furoda. Meski begitu, haji ini tidak terdaftar dalam izin resmi kuota haji yang akan berisiko pada urusan jamaah di bidang pelayanan dan keamanan.
Tentu saja haji backpacker seperti ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari sisi kelebihannya, selain tidak perlu mengantri jadwal pemberangkatan haji dari pemerintah, haji backpacker seperti ini sangat irit biaya karena tidak menggunakan perusahaan resmi pemerintah sehingga biaya hotel dan fasilitas mewah lainnya bisa dipangkas, mereka rela tidur di teras luar masjid dengan selimut seadanya.
Dari sisi kekurangannya, haji backpacker seperti ini memiliki resiko yang tinggi terutama dalam hal keamanan, sebab orang yang berhaji dengan menggunakan visa yang bukan visa haji atau visa undangan haji bisa ditangkap, ditahan, dan disanksi pemerintah Arab Saudi. Selain itu, haji backpacker seperti ini bisa mempengaruhi kondisi kesehatan sebab tidak adanya fasilitas dari perusahaan haji sehingga membuat meraka tidur di sembarang tempat dan di ruang terbuka apalagi cuaca di tanah suci sangat ekstrem, hal ini dapat menyebabkan mereka sakit.
Istilah haji backpacker tidak hanya digunakan bagi mereka yang berangkat dengan modal nekat seperti di atas. Haji backpacker juga merujuk pada istilah haji non-kuota, haji furoda, dan haji undangan. Namun istilah resmi yang termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019, pemberangkatan haji jenis ini disebut dengan “haji mujamalah”. Haji backpacker atau haji mujamalah seperti ini resmi dari pemerintah. Tidak ada resiko ditangkap keamanan Arab Saudi.
Tidak seperti konsep pemberangkatan jamaah haji seperti biasanya yang harus menunggu antrian hingga bertahun-tahun, haji backpacker atau haji mujamalah ini memiliki konsep “daftar langsung berangkat” sehingga jamaah haji yang memiliki kemampuan baik dalam segi fisik maupun finansial bisa langsung mendaftar dan berangkat di tahun yang sama.
Tingginya minat jamaah haji dalam mendaftarkan diri dengan menggunakan haji mujamalah ini membuat pihak penyelenggara mekanisme haji mujamalah juga meningkat. Pihak penyelenggara haji mujamalah juga sudah mendapat izin operasional dari Kementrian Agama dan memiliki istilah Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).*
Wallahu a’lam.
* Zahid Lukman (Pengurus Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Qurra` Wal Huffazh Nahdlatul Ulama)