RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyampaikan bahwa Grand Syekh Al-Azhar Imam Ahmed El Tayeb menyampaikan apresiasi positif kepada PBNU atas konsep penyelenggaraaan Interfaith and Intercivilizational Reception di Hotel Pullman Central Park, Jakarta pada Rabu 10 Juli 2024 lalu.
“Grand Syekh sendiri, menurut informasi yang saya dapatkan melalui komunikasi beberapa orang yang mendampingi beliau, beliau sangat senang dengan desain acara yang seperti itu karena nyambung dengan tema kedatangan Grand Syekh ke Indonesia dalam mempromosikan misi besar Al-Azhar yaitu moderasi Islam dan juga unsur antaragama,” ujar Gus Ulil saat wawancara dengan Risalah NU Online di Jakarta, Rabu (17/07).
Acara penyambutan kedatangan Grand Syekh ke Indonesia yang bertajuk Interfaith and Intercivilizational Reception diselenggarakan oleh PBNU dengan konsep dialog lintas agama.
Pada acara tersebut hadir enam tokoh perwakilan otoritas agama di Indonesia, antara lain Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (Islam), Romo Agustinus Heri Wibowo (Katolik), Bhikku Nyana Suryanadi Mahathera (Buddha), Pdt. Gomar Gultom (Protestan), Jero Mangku Gede (Hindu), dan Mulyadi Liang (Konghucu).
Acara resepsi dengan desain konsep lintas iman diinisiasi PBNU untuk menyambut Grand Syekh sesuai dengan Hiwaarul Adyaan (dialog antaragama) yang secara aktif sedang dipromosikan oleh Grand Syekh dalam beberapa tahun terakhir.
“Jadi kemarin itu, acaranya adalah acara resepsi yang diadakan oleh NU tetapi kerangka atau frameworknya adalah interfaith (antaragama),” kata Gus Ulil.
Resepsi tersebut juga kembali mengangkat bahasan terkait dokumen persaudaraan kemanusiaan yang ditandatangani oleh Grand Syekh Ahmed El Tayeb dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi pada (4/2/20219).
Dokumen ini lahir dari keresahan umat pemeluk dua agama terbesar di dunia, yakni Islam dan Katolik, atas permasalahan-permasalahan di dunia, khususnya yang berkaitan dengan agama.
Menurut Gus Ulil, bantuan atas dasar kemanusiaan kepada masyarakat di negara konflik tidak cukup hanya berupa materi. Kerangka besar dari dokumen tersebut yakni Human Fraternity (persaudaraan kemanusiaan) menjadi landasan yang penting dalam menghadirkan solusi yang konkret.
“Memberikan solusi itu tidak bisa hanya dengan memberi bantuan kemanusiaan saja tetapi untuk menyelesaikan masalah juga perlu kerangka ide besarnya dulu,” terangnya.
Kadang kala beberapa kalangan sering melecehkan atau menganggap remeh terhadap kerangka ide dan mementingkan untuk melakukan aksi dengan cepat saja.
Gus Ulil berpendapat bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena aksi kemanusiaan tidak dapat menyasar ke tujuan yang tepat karena gagasan dan strategi yang belum jelas.
“Poin ini penting saya sampaikan karena seringkali orang meremehkan gagasan besarnya dulu. Penandatanganan dokumen kemanusiaan antara Grand Syekh dan Sri Paus tema besarnya adalah Human Fraternity yang dari situ bisa dipecah menjadi berbagai langkah strategis untuk agama sebagai solusi permasalahan dunia,” tegas Gus Ulil.
Sebagai informasi, acara Interfaith adn Intrcivilization Reception tak hanya diikuti oleh 1.700 partisipan yang hadir langsung, tetapi juga oleh sekira 300.000 orang secara daring yang tersebar di 3.000 titik di Indonesia.
Gus Ulil berpendapat kalau dengan masyarakat dapat menyaksikan kehadiran Grand Syekh beserta kiai-kiai dan tokoh lintas agama lainnya sebagai figur panutan masing-masing umat adalah sebuah capaian yang bagus karena dapat semakin mengokohkan toleransi antar umat beragama di Indonesia. (Ekalavya)