KEMERDEKAAN DAN EGALITARIANISME

0

Membicarakan kemerdekaan adalah membincang mengenai salah satu hak dasar umat manusia yang mencakup segala lini, baik dalam berpikir, beribadah, berekspresi, dan bertindak. Namun, hak dasar tersebut dibatasi oleh spektrum lain, seperti koridor kewajaran yang berpijak pada nilai-nilai norma yang mengikat manusia.

Maka, batas kewajaran yang dimaksud di sini adalah wajar dalam pandangan agama, etika, norma sosial, dan susila yang berlaku. Hal ini sesuai dengan makna kemerdekaan yang secara leksikal berasal dari Bahasa Sansekerta “Maharddhika”, yang berarti kaya, makmur, dan kuat. Artinya, jika seseorang, komunitas, atau suatu bangsa telah mengikrarkan diri merdeka, akan berimplikasi pada kemakmuran, kekayaan, dan kekuatan, baik secara ekonomi, pendidikan, budaya, maupun peradabannya.

Manusia secara kodrati lahir dalam keadaan merdeka. Islam menyebutnya fitrah, yaitu kondisi di mana jiwa dan raga dalam keadaan suci, murni, serta tidak terkontaminasi oleh suatu apapun, termasuk dosa. Ketidak-terikatan manusia oleh suatu apapun itulah yang disebut dengan merdeka. Hal itu selaras dengan pernyataan Umar bin Khattab tatkala menegur Amru bin al-Ash saat menjadi gubernur Mesir: Matâ ista’battum al-Nâs wa Qad Waladathum Ummahâtuhum Ahrâra. Sejak kapan engkau menjajah manusia, sedangkan mereka telah dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka.

Kisah Sayyidina Umar bin Khattab menegur Amr bin al-Ash di atas, terekam dalam kitab “Al-Wilâyah ‘Alâ al-Buldân fî Ashri al-Khulafâ’ al-Râsyidîn”, karya Abdul Azîz al-Umarî. Alkisah waktu pemerintahan Amîrul Mukminîn Umar bin Khattab, Amr bin al-Ash ditunjuk menjadi menjadi gubernur Mesir. Suatu saat, sang gubernur mengadakan lomba pacuan kuda yang diikuti oleh beberapa orang pemuda, tak terkecuali salah seorang putranya.

Karena satu dan lain hal, terjadi konflik antar peserta yang melibatkan putra sang gubernur dengan salah seorang pemuda peserta yang berasal dari suku koptik. Merasa jumawa karena pengaruh ayahnya, sang putra gubernur itu memukul pemuda koptik tersebut, ia yakin, si pemuda koptik itu tidak akan balas dendam dan tidak pula akan memperpanjang masalah.

Namun, dugaan putra Amr bin al-Ash itu salah, karena diam-diam si pemuda koptik dan ayahnya pergi ke Madinah untuk mengadukan kasus kekerasan yang menimpanya kepada Amirul Mukminin. Sesaat setelah sampai di hadapan Amirul Mukminin, pemuda itu menceritakan kronologi kejadiaannya, sehingga ia menyurati gubernur Amr bin al-Ash untuk datang ke Madinah bersama putranya yang terjerat kasus. Sesampainya di Madinah, Amr bin al-Ash beserta putranya langsung menghadap Amirul Mukminin dan dicecar dengan berbagai macam pertanyaan seputar apa, mengapa, dan bagaimana ia memukul si pemuda koptik.

Singkat cerita, Amîrul Mukminîn berkesimpulan bahwa putra Amr bin al-Ash secara nyata dan sah bersalah dalam kasus kekerasan itu, dan ia pun memberikan cambuk kepada si pemuda koptik tadi untuk membalas tindakan anak sang gubernur. Selanjutnya Umar bin Khattab berkata kepada si pemuda koptik tersebut: “Lau Dharabta Amru bin al- sh Mâ Mana’tuka, Lianna al-Ghulâm Innamâ Dharabaka li Sulthâni Abîhi”.

Jika seandainya yang engkau balas adalah Amru bin al-Ash, aku tidak akan keberatan, karena sesungguhnya, keberanian anaknya waktu memukulmu, lantaran pengaruh kekuasaan ayahnya, yakni dia (sambil menunjuk Amru bin al-Ash). Selanjutnya Umar bin Khattab berpaling kepadanya seraya berkata: Matâ ista’battum al-Nâs wa Qad Waladathum Ummahâtuhum Ahrâra. Sejak kapan engkau menjajah manusia, sedangkan mereka telah dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka.

Dari kisah di atas ada pelajaran yang dapat kita ambil bahwa merdeka itu seyogyanya bebas dari sekat-sekat strata sosial dan primordial. Islam sendri, lewat sabda Rasulullah s.a.w. memberantas sekat-sekat tersebut lewat konsep al-Musâwah atau Equality. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dengan non-Arab, tidak ada perbedaan antara orang yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam, begitupun sebaliknya, semuanya sama dalam pandangan Allah s.w.t., kecuali kadar ketakwaannya. Kisah di atas juga memberikan pelajaran bahwa hakikatnya, setiap individu manusia sama di hadapan hukum, sebagaimana tertuang dalam sebuah adagium, “Equality Before The Law”.

“Ayyuhan Nâs, Alâ Inna Rabbakum Wâhid wa Inna Abâkum Wâhid. Alâ lâ Fadla li ‘Arabiyyin ‘Alâ ‘Ajamiyyin, wa Lâ li ‘Ajamiyyin ‘Alâ ‘Arabiyyin, wa Lâ li Ahmara ‘Alâ Aswada wa Lâ li Aswada ‘Alâ Ahmara, Illâ bit Taqwâ.

Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (putih) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (HR. Ahmad, 22978).

Konsep ini selanjutnya dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau (m. 1778) dan John Lock (m. 1704) sehingga menjadi sebuah aliran filsafat Egalitarianisme yang menekankan kesetaraan manusia dalam kehidupan sosial. Kesetaraan tersebut meliputi kesetaraan dasar, kesetaraan hak, kesetaraan hidup, kesetaraan ekonomi, kesetaraan pendidikan, dan lain sebagainya.

Karena itu, jika mengacu pada konsep al-Musâwah dan egalitarianisme sebagaimana disinggung di muka, maka kemerdekaan pada hakikatnya terbukanya ruang kesetaraan kepada setiap individu, serta menghapus segala bentuk aktivitas yang mengarah pada diskriminasi. Bukankah kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan individu? Maka penjajahan dan diskriminasi harus diberangus, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan prikeadilan.

Sebagai penutup catatan kemerdekaan ini, penulis ingin mengutip salah satu lirik lagu yang pernah didendangkan oleh Nasida Ria: “Merdeka berarti harus membangun, bukan untuk pribadi atau golongan. Makmur untuk semua, adil untuk semua, hukum pun berlaku untuk semua. Merdeka bukannya bebas tanpa hukum, merdeka bukannya menang berkuasa, merdeka berarti bersatu membangun. Allah mencintai umat yang membangun, Allah membenci umat yang membuat rusak. Kita syukuri rahmat Ilahi, dengan bersatu membangun RI”. Dirgahayu Negaraku, Merdeka…!!

H. Mohammad Khoiron (Wakil Ketua LBM PWNU DKI, Guru di DKI Jakarta)

Leave A Reply

Your email address will not be published.