NASIONALISME LEWAT NAMA

0

Jika kita bertanya kepada Generasi millennial mengenai sosok William Shakespeare (m. 1616 M), sebagian besar mereka akan mengenal sosok itu lewat adagium terkenalnya “Apalah Arti Sebuah Nama”. Kata-kata itu cukup booming di awal 90’an sampai akhir 2000’an karena sering kali dijadikan jawaban tatkala ada orang yang bertanya nama dengan maksud-maksud tertentu. Bagi penulis, pernyataan Shakespeare tersebut tidak sepenuhnya salah serta tidak pula seratus persen tepat, tergantung situasi dan kondisi bagaimana arah tafsir dan maksudnya.

Dalam catatan ini, agaknya penulis tidak terlalu sepakat dengan pernyataan tersebut, karena nama merupakan identitas yang tersemat kepada suatu objek. Tanpa nama, sesuatu tidak akan pernah dikenal dan tidak akan pernah menjadi bagian dari sejarah. Jasad boleh saja tidak ada, namun nama akan tetap dikenang sepanjang waktu, entah nama baik atau nama buruk. “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Begitulah kira-kira pepatah yang sering kita dengar.

Mumpung masih dalam suasana peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-79, penulis ingin memberikan sedikit catatan bagaimana nasionalisme itu lahir dari jiwa para pejuang. Namun sebelumnya, penulis sedikit hendak mengulas pengertian nasionalisme dari sudut pandang bahasa dan istilah. Kata nasionalisme merupakan serapan dari Bahasa Inggris, “Nationalism” yang berarti paham mengenai tanah air. Jika dieksplorasi lebih mendalam, kata national yang berbahasa Inggris itu, merupakan serapan dari kata Latin, “Natio” akar dari kata “Nascor” yang berarti “Aku Lahir”. Secara defenitif, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme merupakan paham yang mengajarkan kecintaan kepada tanah air. Paham tersebut harus dimiliki oleh setiap tumpah darah rakyat terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga :  Siapkan KMA Tentang Peta Jalan Pesantren Ramah Anak

Sesuai dengan pengertian di atas, maka nasionalisme merupakan paham yang harus dimiliki oleh siapapun dari warga negara Indonesia demi menjaga kedaulatan, persatuan, dan persatuan, serta eksistensi bangsa dalam kancah internasional. Secara umum, kecintaan terhadap negara tidak hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia. Warga internasional juga mempunyai semangat cinta terhadap negaranya mereka masing-masing. Islam sendiri di dalam salah satu piranti ajarannya mengajarkan seseorang untuk mencintai tanah airnya. Hal itu tergambar dalam salah sabda Nabi s.a.w. yang berbunyi: Allâhumma Habbib Ilainâ al-Madînah Kahubbinâ Makkah au Asyadda. “Wahai Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Madinah sebagaimana kecintaan kami kepada Mekkah atau lebih dari itu”. (HR. Bukhari, 3633).

Hadits di atas kemudian dijadikan pijakan oleh para ulama sebagai dalil dari nasionalisme. Lebih spesifik, ini berarti bahwa nasionalisme yang diajarkan oleh para ulama lewat jargon “Hubbul Wathan Minal îmân”, cinta tanah air sebagian dari iman berpijak pada hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari. Wujud nasionalisme itu selanjutnya berkembang lewat berbagai macam ekspresi.

Bagi kalangan ulama, ekspresi kecintaan mereka kepada negaranya tertuang dalam nisbat nama daerah asal mereka di belakang nama. Jika tidak karena membaca kitab-kitab yang bertajuk al-Thabaqât atau klasifikasi periode para ulama yang pernah hidup, seperti al-Thabaqât al-Kubra al-Syâfi’iyah karya Tâjuddîn al-Subki (w. 771 H), atau al-Thabaqât al-Kubrâ karya Abdul Wahhab al-Sya’ranî (w. 973 H),   mungkin saya tidak tahu bahwa nama-nama yang sering kita dengar seperti Syansyuri, Usymuni atau Asymuni, Nawawi, dan sebagainya merupakan nama sebuah tempat.

Kakek penulis dari jalur ibu namanya Usymuni atau Asymuni yang menurut penuturan informan, nama tersebut diambil dari sebuah kitab di bidang ilmu Nahwu. Setelah penulis lacak, ternyata Usymun sendiri merupakan sebuah distrik atau wilayah di Mesir. Begitupun juga dengan nama Syansur yang menjadi nama belakang dari KH. Bisri Syansyuri salah seorang masyayikh Nahdlatul Ulama, diambil dari nama salah satu desa di distrik Usymun, Mesir.

Baca Juga :  Benarkah Pembegal Nasab Seperti Wahabi (Mencermati Pidato Rais Aam)

Pertanyaanya, mengapa tempat-tempat itu begitu masyhur dalam khazanah Islam? Karena dari tempat-tempat itulah lahir para ulama besar yang menisbatkan wilayah asal mereka di belakang namanya. Bisa dibilang, itu merupakan salah satu bentuk nasionalisme dan kecintaan mereka terhadap negaranya.  Tidak hanya itu, saking cintanya terhadap negara, dalam karya-karya mereka pun juga seringkali menisbatkan nama asalnya menjadi nama kitab. Contoh: Syarhu al-Syansyûrî Alâ Matni al-Rahbiyyah fi al-Farâid, Syarhu al-Usymunî Alâ Alfiyyah Ibni Mâlik fî al-Nahwi, Syarhu al-Nawawî ‘Alâ Shahîh Muslim, dan sebagainya.

Bisa dibilang, penisbatan tempat yang dilakukan oleh para ulama di belakang nama mereka cenderung lebih masyhur dari namanya sendiri, seperti al-Ghazâlî, al-Nawawî, al-Bukhârî, dan sebagainya. Hal itu mengidentifikasi bahwa mereka begitu bangga dengan tanah kelahirannya sebagaimana Rasulullah s.a.w. mencintai tanah kelahiranya Mekkah, seperti yang disinggung di atas. Kebanggaan terhadap tanah kelahiran dan asal muasal itulah yang disebut dengan nasionalisme. Dari sini jelas, bahwa klaim yang menyatakan membela negara tidak ada dalilnya terbantahkan dengan adanya dalil berupa hadits sahih yang secara spesifik mengarah ke sana.

Sebagai bentuk pengejawantahan terhadap hadits Nabi di atas, maka tradisi menisbatkan nama asal daerah di belakang nama dilakukan oleh para ulama besar dan berlangsung dari generasi ke generasi. Demikian juga dengan ulama-ulama besar Indonesia, mereka menisbatkan asal daerah di belakang namanya, sebagai bentuk kecintaan terhadap negara asalnya seperti Syekh Yasin Al-Fadani Padang, Syaikh Ahmad Khatib al-Mingkabawi Minangkabau, Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili Mandailing Natal, Syaikh Yusuf al-Makasari Makasar, Syaikh Usama al-Mandurah Madura, dan sebagainya. Di momentum Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ini, penulis ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk terus menggelorakan nasionalisme sebagai representasi manusia muslim. Dengan cinta tanah air, berarti kita mengamalkan salah satu hadits Nabi yang menjadi acuan dalam bermuamalah.

Baca Juga :  Kawal Kemenangan Indonesia

Di akhir catatan ini, penulis ingin mengutip cuplikan dari salah satu puisi D. Zawawi Imran, seorang pujangga asal Madura yang bergelar Celurit Emas:

“Kita minum air Indonesia menjadi darah kita

Kita makan buah-buahan dan beras Indonesia menjadi daging kita

Kita menghirup udara Indonesia menjadi napas kita

Satu saat nanti kalau kita mati

Kita akan tidur pulas dalam pelukan bumi Indonesia

Daging kita yang hancur

Akan menyatu dengan harumnya bumi Indonesia

Tanah air yang indah

Harus diurus dengan hati yang indah

Hati yang taqarrub kepada Allah

Kalau Indonesia ingin tetap indah Harus diurus dengan akhlak yang indah

Tanah air adalah ibunda kita

Siapa mencintainya Harus menanaminya dengan benih-benih kebaikan dan kemajuan

Agar Indah yang indah semakin damai dan indah

Tanah air adalah sajadah

Siapa mencintainya Jangan mencipratinya dengan darah

Jangan mengisinya dengan fitnah, maksiat, dan permusuhan

Tanah air Indonesia

Adalah sajadah Sampai kita bersujud kepada Allah”

 

H. Mohammad Khoiron

Wakil Sekretaris LBM PWNU DKI Jakarta

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.