Jika ada pertanyaan yang dikemukakan oleh seseorang mengenai momentum Maulid Nabi Muhammad s.a.w., mungkin sebagian dari kita akan menjawab dengan jawaban normatif. Hal itu wajar, karena peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w. merupakan bagian dari tradisi baik yang berkembang di beberapa komunitas muslim di dunia, terutama komunitas sunni.
Maulid Nabi merupakan ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan kaum muslimin atas kelahiran sang nabi akhir zaman, pembawa risalah ajaran Islam sebagai penyempurna bagi ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. Di satu sisi, bagi Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, menanyakan mengapa maulid Nabi Muhammad s.a.w. perlu dirayakan, hal itu tidak pantas diajukan oleh orang yang berakal. Sebab seolah-olah yang bersangkutan menggugat analogi mengapa kami tidak berbahagia atas kelahiran Nabi Muhammad s.a.w..
Sayyid Muhammad menegaskan bahwa merayakan maulid merupakan bentuk kebahagiaan dan kegembiraan, serta ekspresi kecintaan terhadap Nabi Muhammad s.a.w.. Kelahiran Nabi Muhammad adalah anugerah dan rahmat, karena itu kita dituntut untuk bergembira, sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Qur’an: “Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus, 10:58). Di samping itu, keberadaan Nabi Muhammad sebagai seorang rasul, merupakan rahmat bagi alam semesta: “Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya, 21:107).
Bagi seorang muslim, mencintai Nabi Muhammad s.a.w. merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan merupakan bagian dari salah satu ciri seorang mukmin. Dalam sebuah hadits disebtukan: “Suatu ketika Rasulullah s.a.w. menggandeng tangan Umar bin Khaththab r.a., lalu ia berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku. Nabi s.a.w. bersabda: Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu. Kemudian Umar berkata kepada beliau: Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku. Maka Nabi s.a.w. bersabda: Sekarang (engkau benar), wahai Umar”. (HR. Bukhari, 6632).
Peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang kita peringati, terutama di bulan Maulid ini, bukanlah sebuah seremonial semata. Lebih dari itu, nilai-nilai yang mengarah pada diutusnya beliau sebagai rahmat bagi alam semesta juga turut menjadi bagian dari spirit kebahagiaan dan kegembiraan. Konsep Rahmatan lil ‘ lamîn yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang menembus dimensi mawaddah wa rahmah (cinta kasih sayang), al-‘Adâlah (keadilan), dan al-Tawâzun (keseimbangan) hendaknya mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehar-hari. Dengan kata lain, semangat al-Dzikrâ yang terhujam dalam hati, harus berbanding lurus dengan spirit al-Tathbîq atau implementasi nilai-nilai rahmat bagi alam semesta.
Spirit implementasi nilai-nilai rahmat bagi semesta tertuang dalam beberapa hal, di antaranya menghormati perbedaan keyakinan yang dianut oleh orang lain. Tugas kita dalam rangka menjalankan dakwah hanyalah mengajak, bukan mengintimidasi atau melakukan persekusi. Persoalan hidayah, itu merupakan hak prerogatif Allah, Tuhan yang menguasai hati seseorang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah s.w.t.: “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. (QS. Al-Thariq, 88:21-22).
Selain itu, nilai-nilai rahmah bagi semesta juga harus mengacu pada implementasi keadilan sosial dengan menjalankan keadilan dalam segala hal, baik dalam ruang lingkup keluarga, masyarakat, dan negara. Mengenai keadilan sosial ini, ada riwayat yang cukup masyhur, yaitu tentang seorang Yahudi yang dituduh mencuri. Pada suatu waktu, Thu’mah bin Ubairiq mencuri baju perang milik Qatadah bin al-Nu’man. Ketika hampir ketahuan oleh Qatadah, Thu’mah melarikan diri dan menyembunyikan baju perang tersebut di rumah tetangganya, Zaid al-Saimin, seorang Yahudi, dengan alasan ingin menitipkan sebuah baju perang.
Zaid yang tidak curiga menerima baju perang tersebut. Masalah timbul ketika Qatadah melaporkan pencurian tersebut kepada Rasulullah dan meminta hukuman tegas bagi pelakunya. Setelah penyelidikan, baju perang ditemukan di rumah Zaid, yang kemudian menyangkal tuduhan dan menjelaskan bagaimana baju perang itu sampai ke rumahnya. Thu’mah, merasa tertekan oleh penjelasan Zaid, menolak pengakuan tersebut dan malah menuduh Zaid sebagai pencuri. Mendengar kasus itu, Bani Dhafar bin al-Harits, datang untuk mendukung Thu’mah. Dengan bangga mengatakan bahwa mereka mempunyai kontribusi dan pengorbanan dalam perjuangan Islam. Mereka menekan Nabi supaya menetapkan Zaid sebagai tersangka pencurian dan dihukum potong tangan. Zaid, yang sendirian dan dalam posisi lemah, hanya bisa pasrah menghadapi kemungkinan nasib buruk yang akan menimpanya.
Namun, al-Qur’an justru membela Zain al-Saimin yang secara de facto tidak bersalah dengan menurunkan ayat: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa, mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. Beginilah kalian, kalian sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)? Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS. Al-Nisa, 03:105-112).
Dengan turunnya ayat di atas, maka Rasulullah s.a.w. langsung memutuskan bahwa yang bersalah dalam kasus ini adalah Thu’mah, sehingga ia menerima konsekuensi berupa hukum potong tangan. Dari kisah ini kita memahami bahwa nilai-nilai rahmatan lil ‘âlamîn pada dasarnya menembus sekat-sekat primordialisme. Seorang Thu’mah, meskipun muslim dia tidak bebas dari hukuman atas pencurian yang dilakukannya. Sebaliknya Zail al-Saimin, meskipun bukan seorang muslim, dia dibela oleh al-Qur’an karena memang tidak melakukan pencurian sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Wallâhu A’lam bis Shawâb
H. Mohammad Khoiron
(Wakil Sekretaris LBM PWNU DKI Jakarta)