Rabi Herzog gembira melihat dua belas cucunya berlarian di taman sekitar rumahnya. Cucu wanita memetik bunga yang layu dan menyiraminya. Cucu laki-laki dengan mengenakan baju khas anak-anak Yahudi bermain perang-perangan dengan pedang dan tombak kayu.
Anak-anak Rabi sibuk membersihkan halaman dan isi rumah karena semalam mereka menerima banyak tamu kerabat dari Haifa. Istri sang Rabi, Zilsa yang gemuk terlihat acap berteriak memperingatkan cucu-cucunya untuk tidak bermain di tepian. Rumah Rabi tepat di atas bukit yang orang menyebutnya Bukit Herzog.
“Anak-anak,” tukas Zilsa sambil terengah-tengah.
“Biar saja, mereka sudah tahu batasan jalajah bermain mereka,” kata Rabi Herzog.
Mereka tinggal di sebuah bukit yang selatan Jerussalem. Di bukit itu hanya dia sendiri yang dan keluarga. Rabi Herzog menempati rumah warisan keluarganya yang sejak puluhan tahun tinggal di situ, jauh setelah zaman Nabi Musa alayhisalam.
Rumah tua itu dari tembok batu yang kokoh. Terdiri dari delapan kamar besar. Keluarga Yahudi cenderung berkumpul dengan anak-anaknya. Di sebelah utara rumah itu terdapat tempat ibadah, semacam chapel. Di tempat itu mereka menghabiskan waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah yang mereka menyebutnya dengan Yahwe adan El.
Mereka keluarga Yahudi yang taat yang bertahan meskipun Nabi Isa telah diutus untuk menjadi juru selamat mereka. Mereka tetap harus membaca kitab suci Taurat, Talmud dan Haggadah. Sejak kecil anak-anak sudah mengalami tahara (khitan) dan taat melaksanakan salat tiga kali sehari, menolak babi dan minuman keras.
Mikha, cucu paling besar tiba-tiba mendekati Rabi Hezog. “Saba,” teriaknya memanggil kakeknya sambil menuding ke arah timur laut.
“Savta,” teriaknya pula kepada neneknya.
“Ada apa Mikha?” tanya sang kakek.
“Lihatlah!” kata Mikha sambil menunjuk arah timur laut itu. Ia lihat ada beberapa orang menunggang kuda perang yang amat cepat yang menuju ke tempatnya.
“Ayo semua masuk,” kata sang Rabi.
Semua kemudian masuk rumah dan segera mengunci semua pintu dengan slot pengaman. Rumah besar dan kokoh itu memang agak sulit didobrak karena terbuat dari kayu-kayu besar dan bebatuan kokoh.
Mereka teringat bahwa Jerussalem baru saja ditaklukkan kaum muslimin dan telah diserahkan kepada Khalifah Umar bin Khattab. Rabi Herzog termasuk salah satu pemuka agama Yahudi yang ikut menyaksikan penyerahan kunci Baitul Maqdis itu. Ia takut masih sisa tentara muslim yang akan menyerang di luar pejanjian yang disepakati.
“Ayo kalian bersuci semua,’ kata rabi. Semua lantas mengambil bejana kecil dan berniat bersuci dengan membasuh tangan dan muka mereka. Lalu, memercikkan air kaki mereka.
Mereka langsung membaca ‘Shema Yisrail, Adonai huha Elohim’, semacam azan mereka.
Menuju Mesir
Lima orang sahabat Nabi dengan mengendarai kuda itu semakin mendekti umah itu. Kuda ditambatkan. Seorang mendekati pintu. “Assalamualaikum. Shalom Elaihem,” serunya keras. Namun, tak ada jawaban dari dalam.
“Tadi kelihatan ada orang. Mungkin orangnya di dalam,” kata seorang yang lain.
‘Iya aku lihat jejak mereka,” kara seorang yang lain, mendekati pintu sambil mengamati lantai tanah.
Mereka tahu rumah orang yang memiliki privasi yang harus dijaga dan dihormati. Ia berkali-kali mengetuk pintu seraya mengucap salam. “Shalom Elaihem.”
Cukup lama mereka menungu hingga kemudian Rabi Herzog muncul dengan mengenakan pakaian ibadah, membukakan pintu.
“Shalom,” jawab Rabi Herzog yang menampakkan wajah ketakutan.
“jangan takut Rabi. Kami bukan pasukan perang. Kami hanya ingin melepas lelah dari panas di bawah pohon zaitun yang Anda miliki,” kata seseorang.
“Tapi, masuklah,” kata Rabi
“Kami tidak ingin mengganggu. Rabi tengah mengenakan baju ibadah.”
“Iya. Mohon maaf.”
“Tidak kami akan di luar saja.”
“Tidak, masuklah, kami akan menjamu tuan-tuan.”
Ia lantas memanggil istrinya. “Ashti, buatlah masakan buat tamu kita.” Tiba-tiba anaggota keluarga itu berhamburan keluar dan saling menyapa dengan tamunya. Mereka tahu bahwa tamunya bukan orang jahat. Dari wajahnya memancar keteduhan.
Mereka duduk di lantai beralaskan jerami halus dan bersandar pada bantal jerami juga.
“Tuan-tuan ini hendak ke mana?” tanya Rabbi Herzog.
“Kami utusan Khalifah Umar untuk memesankan kelambu Kakbah ke Mesir. Kami akan bertemu Gubernur Mesir Amr bim Ash dan memesankan kelambu yang telah kami ukur.”
“Mesir masih sepekan lagi sampai. Tuan-tuan nanti melampaui Gaza dan Sinai. Ada beberapa sinagog yang bisa tuan-tuan singgahi. Kami bahagia menerima tuan-tuan. Hubungan antar Yahudi dan Islam selesai dan baik setelah Jerussalem ditaklukkan dan kami serahkan kepada pemimpin tuan-tuan.”
“Terima kasih. Kami tidak menginap, hanya melepas letih dan numpang salat. Sebenarnya kami telah mendengar nama baik Rabi yang saleh sehingga kami juga ingin berkunjung. Kami akan menyerahkan uang untuk jamuan yang Tuan Rabi berikan. Kalau boleh kami akan membeli makanan dari persediaan rabi.”
“Tidak, kami ikhlas. Kami pengikut Nabi Musa.”
“Mengapa Tuan begitu lama membukakan kami dan mengapa begitu tampak ketakutan.”
“Maafkan saya. Pikiran kami buruk menduga yang tak layak terhadap tuan-tuan.”
“Seandainya kami dalam keadaan perang pun, kami dilarang membunuh tokoh agama, orang tua, perempuan, anak-anak, menebang pohon dan merusak properti.”
“Yah, saya tahu dan mendengar pidato pemimpin tuan-tuan saat di Jerusaalem. Kami semua terkesan dengan kebersahajaan pemimpin tuan-tuan. Kami tak menyangkanya,” kata rabi sambil mempersilahkan makan dan minum.
“Jangan khawatir kami tidak makan babi,” kata Rabi tersenyum melihat ada sebagian tamunya yang ragu dengan hidangan itu.
“Mohon maaf tuan-tuan, kami tadi agak lama membukakan pintu untuk Tuan-tuan karena kami semua harus bersuci.”
“Mengapa?”
“Ada pesan Allah kepada Nabi Musa, jika engkau khawatir dengan kekejian penguasa, maka berwudlulah, perintahkan juga keluargamu. Karena barangsiapa berwudlu maka dia dalam jaminan keamanan-Ku. Maka kami semua tadi berwudlu dan salat dan kemudian membukakakan pintu untuk tuan-tuan.”
Para tamu itu tertawa. “Kami membawa pedang hanya untuk menjaga diri wahai Rabi.”
Para tamu itu kemudian menyerahkan sekeping uang dinar kepada sang Rabi karena Rabi menyiapkan bekal makanan untuk sepekan menuju Mesir. Semula Rabi itu menolak. Tapi, para tamu itu mendesak dan memaksanya karena ini adalah amanah dari Amirul Mukminin Khalifah Umar yang tidak boleh memberatkan orang lain, terutama yang bukan seagama.
Dikutip bebas dari Tanbighul Ghafilin karya Imam Abu Layts As-Samarqandi, Al-Hanafi (wafat 373 H) terbitan penerbit Ibnu Katsir, Damaskus, 1421H/2000M, bab keutamaan wudlu, halaman 267-268. (Musthafa Helmy)