RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan bahwa mulai tahun 2026, penyelenggaraan ibadah haji tidak lagi berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag), tetapi akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Haji (BPH).
Keputusan ini menandai langkah besar dalam tata kelola penyelenggaraan haji, yang diharapkan membawa peningkatan kualitas layanan kepada jemaah Indonesia.
Dilansir dari Pojok Baca Id, Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 akan menjadi yang terakhir dikelola oleh Kemenag.
Dalam pernyataannya, ia menegaskan komitmen untuk menjadikan tahun ini sebagai momentum yang penuh kedamaian dan kenyamanan bagi para jemaah.
“Kami memastikan bahwa penyelenggaraan haji tahun terakhir ini menjadi titik balik bagi reformasi layanan yang lebih baik. Ini bukan hanya tugas, tetapi amanah besar dari masyarakat,” ujarnya.
Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan reformasi tata kelola yang telah direncanakan selama beberapa tahun terakhir. Dengan pembentukan BPH, pemerintah berharap dapat memberikan pelayanan yang lebih terfokus dan profesional.
Pengalihan penyelenggaraan haji dari Kemenag ke BPH mulai tahun 2026 bisa jadi merupakan reformasi paling progresif dalam tata kelola ibadah haji di Indonesia modern.
Meski langkah ini diharapkan dapat membawa peningkatan kualitas layanan, proses transisi tersebut juga harus diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan tantangan baru.
Menurut Dadi Darmadi, peneliti haji dan umroh dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, transisi ini adalah momentum penting untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola haji di Indonesia.
“Pengelolaan ibadah haji selama ini menghadapi sejumlah tantangan, seperti transparansi dalam pengelolaan dana, alokasi kuota, hingga fasilitas di Tanah Suci. Dengan pembentukan BPH, kita berharap ada perbaikan signifikan, tetapi itu hanya mungkin jika dilakukan secara terencana dan akuntabel,” jelasnya.
Ada beberapa catatan penting untuk perbaikan penyelenggaraan haji Indonesia ke depan:
1. Reformasi Tata Kelola dan Transparansi
Salah satu masalah adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana haji dan distribusi kuota. Kasus pengalihan kuota tambahan yang ramai dibicarakan pada 2024 menjadi pengingat bahwa regulasi harus diperketat untuk memastikan keadilan dan mencegah penyimpangan.
2. Perbaikan Fasilitas di Tanah Suci
Masalah kronis seperti kepadatan di Mina dan Arafah, serta minimnya fasilitas sanitasi, menunjukkan perlunya kerja sama lebih erat antara pemerintah Indonesia dan otoritas Arab Saudi.
“Kita perlu memastikan bahwa fasilitas dan logistik tidak hanya cukup, tetapi juga memenuhi standar kenyamanan dan keselamatan,” tambah Dadi Darmadi.
3. Peningkatan Pelatihan Jemaah Haji
Pelatihan yang lebih baik bagi jemaah, termasuk aspek teknis dan spiritual, menjadi hal yang sangat penting. “Sayang sekali jika manasik haji hanya menjadi rutinitas formalitas. Padahal, pemahaman jemaah tentang ibadah dan tantangan di lapangan sangat krusial untuk keamanan dan kenyamanan mereka selama haji,” ujarnya.
4. Pengawasan Independen
Pentingnya pengawasan independen dalam penyelenggaraan haji, terutama ketika BPH mulai beroperasi, juga menjadi sorotan.
“Kita membutuhkan pengawas yang independen dan memiliki kredibilitas untuk kebaikan BPH sebagai lembaga berwibawa ke depannya, dan memastikan bahwa layanan tetap berorientasi pada kebutuhan jemaah, bukan yang lain,” tegas Dadi.
Pengurangan biaya haji menjadi Rp55,4 juta untuk tahun 2025 layak diapresiasi sebagai langkah positif dari pemerintahan Prabowo-Gibran, tetapi perlu dipastikan bahwa efisiensi ini tidak mengorbankan kualitas layanan.
“Biaya yang lebih rendah harus sejalan dengan peningkatan mutu, bukan menjadi alasan untuk menurunkan standar pelayanan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dadi Darmadi menambahkan bahwa transisi ini harus menjadi momen refleksi bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan haji.
“Penyelenggaraan haji adalah tanggung jawab besar. Reformasi ini hanya akan berhasil jika seluruh pihak mengutamakan prinsip layanan berbasis jemaah — bukan profit atau kepentingan politik,” tutupnya.
Meski harapan besar diletakkan pada BPH, proses transisi juga menghadirkan sejumlah tantangan, termasuk pengalihan sumber daya manusia, sistem, dan infrastruktur. Hal ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian serta pelibatan pemangku kepentingan terkait.
“Transisi ini tidak boleh dilakukan setengah hati. Semua pihak harus memastikan bahwa proses ini berjalan mulus tanpa mengorbankan layanan kepada jemaah,” kata Nasaruddin Umar.
BPH diharapkan mampu menghadirkan inovasi dalam tata kelola haji, termasuk pemanfaatan teknologi digital untuk manajemen kuota, pengelolaan dana, hingga pelaporan. Sistem yang transparan dan mudah diakses akan menjadi kunci keberhasilan badan ini.
“Kita harus mengadopsi teknologi canggih untuk mengelola seluruh aspek penyelenggaraan haji, mulai dari pendaftaran hingga pelayanan di Tanah Suci. Ini bukan hanya tuntutan zaman, tetapi juga kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas,” ujar Nasaruddin Umar. (hud).