Syed Muhammad Naquib Al-Attas (lahir 1931) adalah filsuf Islam dengan pemikiran besar. Menurut analisis beliau, kemunduran umat Islam disebabkan oleh persoalan ilmu yang keliru, bukan oleh persoalan kekalahan politik atau kebangkrutan ekonomi seperti tawaran beberapa ideolog dan cendekiawan muslim.
Apa yang beliau maksud dengan kekeliruan ilmu adalah muatan pandangan-hidup (worldview) Barat sekuler di dalam hampir semua ilmu pengetahuan kontemporer. Untuk mengatasi hal tersebut, Al-Attas merujuk kepada, dan melakukan reformulasi terhadap, pemikiran filosofis yang telah dicapai ulama kalam, filsafat, dan tasawuf dalam sejarah pemikiran Islam.
Hasilnya adalah sebuah penjelasan yang utuh dan otentik tentang pandangan-alam Islam (the worldview of Islam), epistemologi Islam, dan gagasannya yang luhur, Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
Melalui penjelasan tersebut, beliau menulis tentang perbedaan asasi peradaban Islam dan Barat; filsafat pendidikan dan konsep universitas Islam; filsafat kebudayaan, filsafat sejarah, filsafat bahasa, dan filsafat pendidikan; dan tema-tema lain yang penting bagi pengembangan pemikiran Islam sekarang sesuai manhaj Ahlussunnah wal jama’ah.
Sesungguhnya kekeliruan pandangan terhadap Islam semakin diperkuat oleh Barat atau para pengamat di luar Islam yang begitu mudah memberikan stigma (stereo negatif) terhadap orang Islam.
Padahal jumlah muslimin hampir dua miliar Muslim di dunia dan kelompok agama terus berkembang pesat. Namun, Islam terus disalahpahami oleh banyak orang, sehingga memberi jalan kepada Islamofobia dan bahkan kekerasan terhadap Muslim.
Direktur Penelitian di Institute for Social Policy and Understanding (ISPU) Dalia Mogahed mengatakan Islamofobia ada jauh sebelum 9/11.
Ketidaksukaan terhadap Islam dan Muslim menjadi lebih sengaja dipersenjatai untuk kepentingan perang dan politik di dunia pascatragedi 11 September 2001 itu.
Islamofobia pascatragedi 9/11 telah bermanifestasi dalam berbagai cara di seluruh dunia, termasuk penerapan larangan perjalanan Muslim yang diterapkan oleh kebijakan khas mantan presiden AS Donald Trump. Selain itu, penganiayaan terhadap orang-orang Uighur di China setidaknya sejak 2017 dan pembunuhan massal Rohingya di Myanmar.
Dua puluh tahun setelah tragedi 9/11, ketidaktahuan tentang Islam dan lainnya terus didorong oleh pandangan yang keliru yang umumnya digunakan banyak pihak.
Keliru berfikir di internal Ummat Islam dan pandangan keliru dari luar Islam sama-sama bebal dan menambah sesat pandangan, produk kejumudan jahiliyah modern yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Apa yang dilakukan oleh Syekh Naquib Al Athas di Singapura dengan konsep pemikiran Islam kontemporer. Dalam karya-karyanya, Naquib al-Attas secara umum memfokuskan pemikirannya dalam mengembalikan nilai Islam sebagai pandangan dunia (reaktualisasi ajaran Islam), mengusung kemandirian Islam dari jeratan peradaban Barat (dewesternisasi) dan gagasan desekularisasi, suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman, mengembalikan keharmonisan antara agama (Islam) dengan sains. Untuk itu, al-Attas menawarkan beberapa konsep pembaharuan, seperti islamisasi ilmu yang merupakan proses dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi ke dalam sistem pengetahuan Islam, dan konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan manusia paripurna, yaitu manusia yang sadar akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan Tuhan, masyarakat, dan alam. Keduanya adalah perwujudan dari reaktualisasi kebangkitan peradaban Islam.
Era Intelektual
Berbicara mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan bukanlah hal yang baru dalam era intelektual ini. Dalam arus sekularisasi yang semakin merajarela ini, Islamisasi Ilmu Pengetahuan muncul dan memberikan sumbangsih baru pada pembahasan ilmu secara epistimologi dan methodologi.
Islamisasi memiliki dasar pijakan yang membedakan mereka dengan konsep ilmu yang ada di Barat, setidaknya ada tiga landasan yaitu Tauhid sebagai landasan utama sebuah keilmuan, kemudian konsep tentang Rasulullah sebagai Nabi dan Utusan dari Allah Yang Maha Esa dan juga kepercayaan kepada hari akhir.
Hal inilah yang kemudian menjadi perbedaan dengan konsep ilmu yang ada di Barat dengan berbagai macam doktrin sekularnya yang telah banyak merasuk pada perkembangan ilmu secara menyeluruh.
Gagasan baru Islamisasi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan menjadi jawaban dan pembahasan penting dalam menanggapi arus globalisasi sekularisme Barat. Banyak ilmuwan muslim merumuskan konsep-konsep serta dasar pijakan dalam sebuah proses Islamisasi tersebut.
Konsep dan proses Islamisasi dianggap penting oleh sebagian ilmuwan muslim yang ada, diantara ilmuwan tersebut terdapat dua tokoh ilmuwan yang identik dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Mereka diantaranya Syed Naquib Al-Attas, Syed Husain Nasr dan Ismail Raji Al-Faruqi dll.
Gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan adalah bagian upaya panjang untuk memahami Islam secara utuh sebagai kontra idea atas pengetahuan Barat yang tengah berkembang.
Islamisasi sains yang dikembangkan Ismail Raji al-Faruqi sangat dipengaruhi oleh ide-ide pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagaimana disinyalir oleh Wan Mohd Nor Wan Daud dalam karyanya yang berjudul The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003).
Tetapi sebenarnya pengaruh tersebut tidak terlalu dominan, karena konstruksi pemikiran al-Faruqi juga di pengaruhi oleh pemikir-pemikir lainnya, seperti Fazlur Rahman, Syed Husein Nasr, dan sebagainya.
Walaupun Wan Mohd Nor Wan Daud mengklaim bahwa al-Faruqi banyak memanfaatkan tulisan al-Attas yang dijadikan rujukan gagasan Islamisasi sainsnya, namun yang jelas bahwa terminologi Islamisasi telah digunakan oleh al-Faruqi dengan sangat tegas, seperti yang tercermin dalam karyanya Islamization of Knowledge.
Di samping itu, munculnya gagasan Islamisasi sains al-Faruqi juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan intelektual Islam internasional, terutama pengaruh hasil konferensi dunia tentang pendidikan Islam (First World Conference on Muslim Education), pada tahun 1977 di Mekkah, yang menandai kesadaran umat Islam, tentang arti penting pendidikan Islam bagi kemajuan dunia Muslim, dan semangat kemandirian di antara umat Islam dari ketergantungan pada Barat.
Kesimpulan tersebut di atas didukung oleh berbagai sumber antara lain pernyataan Mehdi Golshani dalam karyanya Issues in Islam and Science, yang menyatakan bahwa al-Faruqi adalah tokoh yang paling aktif mensosialisasikan ide Islamisasi sains. Azyumardi Azra dalam karyanya Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), juga menyatakan bahwa al-Faruqi adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan pemikiran Islamisasi sains.
Kemudian dalam uraian Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad Husein, dalam Crisis of Muslim Education, (Jeddah, 1979) dengan jelas menyebutkan bahwa al-Faruqi adalah tokoh yang secara gigih dan kritis mencurahkan ide-idenya dalam program Islamisasi sains modern. Dalam batas tertentu, sikap kritis al-Faruqi terhadap sains modern Barat mempunya kemiripan dengan sikap kritis para filosof Barat terhadap perkembangan sains modern.
Sebagaimana kritik yang dilontarkan terhadap kemapanan sain modern oleh beberapa filosof Barat, antara lain Thomas Kuhn, Karl Jasper dan Karl Popper. Dalam perspektif ini, mengindikasikan bahw tipologi pemikiran al-Faruqi juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat Barat tersebut, terutama dalam menggugat keabsahan sains Barat yang dianggap bebas nilai.
Dalam kontek pendidikan, pemikiran al-Faruqi mirip dengan semangat pembebasan dalam pendidikan dan hak kaum tertindas atas pendidikan, seperti yang dilontarkan oleh Paul Freire, tokoh pendidikan dari Brazilia. Gagasan universalisme pendidikan Islam menurut al-Faruqi juga mirip dengan semangat progressivisme dan demokrasi pendidikan John Dewey, yang menekankan pentingnya pendidikan bagi semua manusia secara universal.
Orang-orang yang tinggal di era tertentu dan sekuler oleh nilai tertentu dianggap bebas dari dimensi spiritual hidup dalam lingkungan yang buruk serta dikepung oleh pemikiran yang rancu dan keliru. Mau tidak mau dalam jangka panjang melahirkan pandangan yang banyak keliru serta sesat berfikir. Produk pengetahuan semacam itu hanya melahirkan manusia jahiliyah modern, yang mudah putus asa, kuatir, takut , cemas bahkan mudah buat onar dan bunuh diri seperti yang sering terjadi Barat, Eropa dan Amerika. Barbarisme, kanibalisme dan anarkisme adalah sampah peradaban dunia yang gagal untuk mencapai cita-cita ideal tentang hakikat dan martabat kemanusiaan. Buktinya, perang dan tanpa perang pun, tantangan nya sudah bukan lagi sesama antar manusia. Kita juga salah mengelola alam beserta seluruh isinya. Tidak ada yang terlambat dalam mengelola dan merawat peradaban ini bila dilalui dengan kebersamaan, sehingga semangat persaudaraan serta persatuan bisa menjadi modal untuk menjaga dan mengelola , merawat dan pelanjut dari peradaban yang jahiliyah modern menuju peradaban maju.
Orang-orang di Era Modern
Orang-orang di era modern kadang-kadang tidak melihat religius seperti orang-orang di era sebelumnya. Tetapi di beberapa daerah yang kuat tradisi dan kuat mempraktikan ajaran agama menunjukkan religiusitas mereka lebih dari yang lain. Dimana, kedamaian, keamanan , keindahan dan kesejahteraan lahir bathin melingkungi kehidupan sehari-hari mereka tanpa pusing oleh hingar bingar kehidupan kota.
Satu pertanyaan muncul, bisakah Islam bertahan dan berdiri secara progresif dan dinamis di era modern seperti dicapai oleh Nabi Muhammad SAW?
Posisi hubungan antara akal (manusia) dan wahyu Allah adalah solusi untuk mengatasi segalanya. G Barbour menyatakan bahwa metodologi studi Islam yang harus dikembangkan adalah dengan metode dialog yang terpadu dan metode entitas yang saling berhubungan. Pendapat ini diusulkan untuk memiliki kerangka empiris-rasional pada studi Islam, bukan yang litereer spekulatif. Tentu banyak tawaran alternatif melirik studi Islam kontemporer untuk menjawab realitas kehidupan modern Ini tentu tantangan bagi cendekia dan intelektual muslim untuk memecahkan problematika penyakit modern dengan kerangka narasi ilmu pengetahuan yang akan menjawabnya. (Aji Setiawan,ST – Alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mantan redaksi majalah Islam alKisah PT Anekayess! Group).