RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Seorang hafiz Qur’an asal Bangladesh, Hamimul Islam merasa terkesan dengan gelaran Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional ke-4 tahun 2025 di Indonesia. Saat mengetahui pembinaan seni baca Al-Qur’an yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat RT/RW hingga tingkat internasional, Hamimul mengaku takjub dengan hal tersebut.
“Saya sangat takjub ketika Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa pembinaan seni baca Al-Qur’an di Indonesia dilakukan secara berjenjang. Di negara kami, masih terbatas lembaga yang benar-benar serius melakukan pembinaan,” ujarnya kepada NU Online pada Kamis (30/1/2024).
Ia menyebut, di Bangladesh hanya Qari Society yang secara serius membina seni membaca Al-Qur’an. Sementara di Indonesia, pemerintah turut berperan terhadap kemajuan seni baca Al-Qur’an.
Menurut Hamimul, perhelatan MTQ di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, mulai dari sistem penilaian yang profesional, juri-juri kompeten dari berbagai negara, hingga dukungan luar biasa dari masyarakat yang antusias menyaksikan perlombaan.
“Saya juga mengenal ciri khas Indonesia dengan peci hitam yang dikenakan para peserta. Saat hendak tampil di panggung, saya menoleh ke belakang dan melihat banyak warga Indonesia berpeci hitam. Pengalaman ini sungguh luar biasa, terutama karena atmosfernya begitu islami dan penuh kehangatan persaudaraan,” katanya.
Selain berkompetisi, Hamimul memanfaatkan kesempatan ini untuk berinteraksi dengan peserta dari berbagai negara. Ia mengaku banyak belajar mengenai metode tilawah dan tahfiz yang diterapkan oleh qari dari berbagai belahan dunia.
“Saya bertukar informasi dan belajar banyak dari negara-negara di Eropa, termasuk saudara-saudara kita di Asia Tenggara, tentang metode yang digunakan dalam menghafal Al-Qur’an. Ajang ini bukan hanya tentang kompetisi, tetapi juga berbagi ilmu dan pengalaman. Saya mendapat banyak wawasan baru tentang cara membaca dan menghafal Al-Qur’an,” ungkapnya.
Bagi Hamimul, pengalaman di Indonesia menjadi salah satu momen terbaik dalam perjalanan kariernya di dunia seni Al-Qur’an. Ia berharap bisa kembali ke Indonesia dalam ajang serupa di masa mendatang.
“Saya ingin kembali ke Indonesia, baik sebagai peserta maupun sekadar bersilaturahmi dengan para pecinta Al-Qur’an di sini. Indonesia benar-benar luar biasa dalam membumikan Al-Qur’an,” pungkasnya.
Tak hanya Hamimul, Maestro kaligrafi asal Iran, Kavch Teymouri, juga merasa terpukau dengan kepiawaian para seniman kaligrafi di Indonesia. Ia mengusulkan agar para kaligrafer Indonesia dapat menggelar workshop di Iran, agar terjadi pertukaran budaya dalam pengembangan seni kaligrafi.
“Kita harus menampakkan identitas kita sebagai Muslim melalui kaligrafi,” ujarnya dalam Seminar Internasional bertema “Kaligrafi dan Seni Islam: Harmoni Agama dan Budaya”, yang merupakan rangkaian kegiatan MTQ Internasional ke-4 ini.
Kavch Teymouri menceritakan pengalamannya selama berkunjung ke berbagai negara, ia kerap bertemu dengan para kaligrafer Indonesia dan menilai bahwa mereka telah mengembangkan berbagai jenis khat dalam seni kaligrafi. Beberapa khat yang berkembang di Indonesia antara lain Naskhi, Tsulutsi, Farisi, dan Kufi, yang digunakan dalam berbagai media seperti mushaf Al-Qur’an, hiasan masjid, spanduk, dan karya seni.
“Ada pepatah dari Asia Tenggara yang mengatakan bahwa barang siapa memiliki keahlian menulis kaligrafi yang indah, itu pertanda luhurnya akhlak dan kemuliaan jiwanya,” ungkap Teymouri.
Sementara itu, maestro kaligrafi Indonesia sekaligus Direktur Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an Lemka, Didin Sirajuddin mengatakan, seni kaligrafi di Indonesia mengalami perkembangan pesat.
“Kaligrafi tidak hanya menghiasi gedung dan masjid, tetapi juga berkembang dalam berbagai media seperti lukisan dan dekorasi. Pameran serta workshop kaligrafi semakin marak, menunjukkan bahwa seni ini sejajar dengan seni lukis lainnya,” ungkap Didin.
Menurut Didin, pendidikan kaligrafi di Indonesia berkembang pesat dengan banyaknya sekolah, pesantren, dan sanggar seni yang mengajarkan kaligrafi, termasuk Lemka yang berdiri sejak 1985. Berkat pendidikan ini, kata Didin, kaligrafer Indonesia telah memenangkan berbagai kejuaraan kaligrafi internasional.
“Di Lemka, kami meyakinkan para santri bahwa belajar kaligrafi adalah bentuk penghormatan terhadap Al-Qur’an. Belajar menulis sama dengan belajar Al-Qur’an, karena di dalamnya terkandung enam rukun: mengenal, membaca, menulis, memahami, mengamalkan, dan mencintai Al-Qur’an,” ucapnya.
Dengan perkembangan pesat ini, Didin berharap, seni kaligrafi Indonesia terus maju, tidak hanya sebagai seni hias, tetapi juga sebagai warisan budaya yang memperkuat identitas Islam di Indonesia dan dunia.
“Kaligrafi bukan sekadar keterampilan biasa, melainkan perpaduan antara ilmu, seni, dan filsafat. Setiap huruf dan goresan dalam kaligrafi memiliki teori, aturan, serta makna mendalam,” pungkas Didin. (Ekalavya/rls).