RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Musyawarah Nasional (Munas) Wilayah Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Wilayah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara resmi mengumumkan hasil putusannya di Hotel Sultan, Jakarta, pada Kamis, (6/2/2025).
Salah satu fokus utama dalam forum ini adalah pembahasan isu-isu keagamaan kontemporer melalui Komisi Masail Addiniyah al Waqi’iyah yang dipimpin oleh Rais Syuriah PBNU, KH Cholil Nafis. Komisi ini menangani persoalan keagamaan yang berkaitan dengan realitas kehidupan modern dan belum memiliki ketetapan hukum yang jelas dalam Islam.
Berikut beberapa poin penting hasil Komisi Masail Addiniyah al Waqi’iyah:
1. Hukum Melibatkan Diri di Negara Konflik
Munas menetapkan bahwa keterlibatan dalam penyelesaian konflik di negara lain dibedakan antara bantuan kemanusiaan dan keterlibatan langsung dalam perang. Bantuan kemanusiaan dikategorikan sebagai fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Namun, ikut serta dalam peperangan dinyatakan haram.
“Melibatkan diri untuk ikut perang, berangkat ikut perang, maka hukumnya adalah harom, karena apa? dia akan menimbulkan fitnah lebih besar. Berangkatnya ke sana melanggar aturan, belum tentu dia menyelesaikan, bahkan mungkin dirinya hanya mati konyol, bahkan balik ke sini bisa menjadi kombatan dan seterusnya,” jelas Kiai Cholil Nafis.
2. Peninjauan Kembali Hukum Dam Tamattu
Menindaklanjuti pembahasan di Munas Konbes 2023 di Pondok Gede, penyembelihan dam tamattu tetap diwajibkan di Tanah Haram (Mekkah dan sekitarnya).
“Hukumnya untuk dam tamattu itu secara berurutan dalam kondisi ideal atau ikhtiar maka wajib disembelih di Tanah Haram dan dibagikan dagingnya di Tanah Haram. Ketika ada hajat dari daging dam tamattu itu, maka wajib disembelih di Tanah Haram, kemudian dagingnya boleh distribusi di Tanah Haram, juga ketika butuh bisa juga didistribusikan di luar Tanah Haram, seperti ke Indonesia, ke Afrika, ke negara yang membutuhkan,” kata beliau.
Namun, dalam kondisi tertentu seperti ketiadaan hewan kurban yang memadai, penyembelihan dapat dilakukan di luar Tanah Haram, termasuk di Indonesia, dengan syarat ditetapkan oleh otoritas berwenang (imam). “Karena ada uzur syar’i atau uzur hissi. Udzur hissi itu tadi tidak ada barang-barang yang bisa sampai ke sana. Atau syar’i karena di sana memang tidak bisa melaksanakan penyembelihan dam. Siapa yang menentukan ini? Kembali kepada negara,” terang Kiai Cholil.
3. Hukum Penjualan Emisi Karbon (Carbon Trading)
PBNU menyatakan bahwa perdagangan emisi karbon sah menurut Islam. Ini dikategorikan sebagai penjualan al huquq al ma’nawi atau hak yang bersifat non-fisik, namun memiliki nilai secara hukum dan manfaat.
“Kita mengerti dalam menjaga lingkungan di Bali Plan dan juga diputuskan PBB kita harus menjaga lingkungan dan ada pembatasan emisi karbon. Nah orang-orang yang punya batas maksimal ia disebut dengan tap and track. Emisi karbon itu ada juga yang modelnya offset emisi. Jadi ada karena orang punya emisi pengurangan pemanasan di efek rumah kaca, kemudian orang menjual dari karbonnya itu. Kami menghukuminya adalah sah dan bagian dari menjual al huquq al ma’nawi yakni hak yang memang tidak tampak secara nyata tetapi secara makna ada haq yang bisa dijual,” ujar Kiai Cholil.
4. Kepemilikan Laut oleh Individu atau Korporasi
Dalam Islam, laut dikategorikan sebagai mal al musytarak atau harta bersama yang dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, dalam hukum Islam, negara tidak diperbolehkan memberikan kepemilikan laut kepada individu maupun korporasi. “Laut itu menjadi mal al musytarak yang menjadi milik kita bersama, dan itu harus ada pada penguasaan negara tetapi dalam hukum Islam, negara tidak boleh memberikan hak milik kepada individu atau korporasi terhadap laut itu,” tegas Kiai Cholil.
5. Bangunan Komersial di Atas Tanah Wakaf
Pendirian bangunan komersial di atas tanah wakaf diperbolehkan jika sesuai dengan tujuan wakaf (mauquf alaih).
“(Misal) orang mewakafkan ini untuk dibangun masjid, maka harus dibangun masjid. Ini untuk dibangun pondok pesantren, itu harus dibangun pondok pesantren, tidak boleh dibangun lainnya,” kata Kiai Cholil.
Jika tanah diwakafkan untuk tujuan manfaat umum seperti pembangunan masjid, maka pendapatan dari properti komersial di atas tanah tersebut harus digunakan untuk mendukung kegiatan masjid. Namun, tanah wakaf tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan, atau dihibahkan, dan penggunaan komersialnya harus berdasarkan akad sewa (aqad haqr).
“Tetapi kalau tujuannya istighlal, (misal) saya mewakafkan tanah ini yang manfaatnya adalah masjid, maka bisa dibangun masjid, (dan) bisa dibangun bisnis yang hasilnya untuk membiayai (keperluan) masjid,” katanya.
6. Zakat Uang Kertas
Pembahasan tentang zakat uang kertas telah dibahas pada forum sebelumnya dan tidak menjadi fokus dalam Munas kali ini. “Berkenaan dengan zakat uang kertas sudah dibahas di Mauduiyyah sehingga kami tidak membahas lebih dalam,” ucap Kiai Cholil.
Selain itu, Munas dan Konbes juga menyoroti isu kekerasan di lembaga pendidikan. Para ulama menegaskan bahwa tidak ada toleransi terhadap kekerasan dalam pendidikan. “Tidak boleh atas nama pendidikan melakukan kekerasan, tetapi ketegasan itu masih bisa,” jelas Kiai Cholil. Beliau menyebut PBNU akan mengkaji secara rinci perbedaan antara ketegasan yang konstruktif dan kekerasan.
(Anisa).