Suatu saat seorang ibu datang menghampiri Muhammad Arif, pendiri dan kordinator Pojok Baca Nahdliyin (PBN) di Banyuwangi. ”Kang, kulo sampun mboten kiyat ngadepin lare siji niku. Pun kulo pasrah teng sampean mawon ” (Mas, saya sudah tidak kuat menghadapi anak saya yang satu itu. Sudah saya pasrah Anda saja mau diapakan Anak itu).
Tentu, Arif kaget juga. Ia bukan pendidik dan penakluk remaja atau pamuda bermasalah. Ia mendengar keluhan dan aduan seorang ibu tentang kenakalan dan tingkah laku anaknya yang tak lagi bisa ia atasi. “Jangan tanya apa bentuk kenakalannya karena segala macam kenakalan sudah dilakukan,” kata wanita itu sambil menyerahkan anaknya yang bernama Bima, berusia sekitar 24 tahun.
“Cobalah bawa ke kiai yang mungkin karena doa kiai ia bisa berubah,” kata Arif, mencoba mengelak.
“Aduh, sudah banyak kiai yang saya datangi, tapi tak ada hasilnya,” kata wanita separuh baya ini yang berasal dari Pengantigan, Banyuwangi, Jawa Timur.
Arif bingung. Tapi, sebagai pengabdi masyarakat, ia tak bisa mengelak. “Saya ini nggak ada potongan kiai kok malah dititipi mendidik anak,” katanya membatin. “Mau menolak, kasihan. Diterima, belum tahu bagaimana rumus pemecahannya.”
“Ya sudah, Bismillah,” kata Arif. Bima lalu tinggal di beranda depan rumah Arif yang penuh buku. Lama-lama buku-buku itu mulai menggodanya untuk disentuh dan dijamah. Anak jebolan SMA itu mencoba baca buku-buku itu. Dan selama itu pula, Arif memerankan diri sebagai sahabat dan teman, bukan orang tua asuh. “Tak ada nasehat, tak ada saran apalagi perintah untuk melakukan apa pun, termasuk salat.” Tapi, Arif menyarankan Bima sering baca selawat.
Tiba-tiba muncul pertanyaan, bolehkah ia ikutan salat? Tentu saja Arif gembira dan memberinya sarung, peci dan sajadah. Ia kembali bertanya, mengapa Kang Arif tidak pernah menyuruhnya salat? Kenapa selawat? “Ibadah bila dilaksanakan dengan kerelaan dan kesadaran hati maka hasilnya tentu akan berbeda daripada beribadah yang dilakukan hanya demi sekedar melepas beban kewajiban semata.”
Kenapa selawat, bukan salat? “Bukan berarti saya meremehkan salat. Kenapa malah selawat yang dianjurkan dan bukan salat? Nah, ini yang harus difahami. Kecintaan kepada agama dapat ditumbuhkan melalui sesuatu yang mengandung rasa cinta dan bukan paksaan. Selawat itu adalah ekspresi dari rasa cinta kita kepada baginda Nabi dan dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Dimulai dari hal hal kecil dan perlahan maka Bima akan memahami agama.”
Buku tentang sejarah NU, ajaran-ajaran Aswaja, biografi ulama-ulama khususnya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid habis dibaca. Buku-buku tebal tentang fikih juga mulai disentuhnya.
Bima juga diajak aktif di PBN yang sampai saat sudah memiliki 50 cabang. PBN yang tersebar mulai dari Kabupaten Tulangbawang Barat Lampung, Kabupaten Tulangbawang, Cileungsi Bogor, Masjid Al Amin Cilincing Jakarta, Brebes, Tegal, Losari Cirebon, Kabupaten Semarang, Sidoarjo, Malang, Loloan Jembrana Bali, Denpasar hingga di Kabupaten Lombok Utara dan lainnya.
Bima juga diajak sowan kiai, antara lain KH Hisyam Syafaat, Blokagung, Banyuwangi. Arif ajak anak itu ziarah ke makam-makam ulama di Banyuwangi, antara lain tokoh NU Mbah Imam Muhtadi Thohir Annawawi.
Belakangan setelah begitu banyak melahap buku-buku koleksi Pojok Baca Nahdliyyin. Tema pertanyaan yang ia ajukan berubah. Ia mulai berani bertanya, “Kang, aku ini orang yang nakalnya gak ketulungan, apakah layak aku mengaku sebagai orang NU?”
Arif sedikit kaget dan dijelaskan. “Wong NU itu bermacam-macam, yang penting senakal apapun kamu, ingatlah bahwa jangan pernah berputus asa dari ampunan Allah. Mencintai ulama adalah bagian dari ikhtiar berharap kasih sayang Allah.”
Suatu malam, ia memaksa ibunya untuk mendirikan PBN di warung makan Rujak Soto milik Ibunya. Ibunya agak bingung menghadapi permintaan anaknya yang spontan. Ia lantas memasang lambang NU besar di warungnya.
“Udahlah mak pokoknya ikut NU itu berkah dan bahagia dunia akhirat.” Warung itu ternyata semakin laris dan diklenal luas. Mereka bisa makan puas dan sekaligus baca buku-buku NU. (*)