Pejabat yang Memilih Miskin

0

Laki-laki tua itu memasuki rumahnya yang sederhana di tengah kota Damaskus, tak begitu jauh dari istana Muawiyah. Seperti biasa, ia berucap salam ketika membuka pintu rumahnya serta takbir.

Biasanya, istrinya menyahut salam dan takbir itu. Tapi, kali ini tak ada suara. Ia tahu istrinya tak pernah ke mana-mana. Ia hanya memintal benang untuk dijadikan baju penghangat. Ke mana gerangan sang istri di rumah yang hanya berukuran lima meter kali lima meter ini. Ternyata ia di biliknya.

“Engkau tidak menjawab salamku?”

“Aku jawab lirih.”

“Kenapa? Sakitkah?”

“Aku hanya letih.”

laki-laki itu pun masuk kamar yang tidak dinyalakan lentera. Saat itu dia mendapati istrinya sedang duduk termenung melihat tanah sambil memegang tongkat.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya.

“Engkau mempunyai kedudukan yang baik di hadapan Muawiyah, dan kita tidak mempunyai pembantu. Seandainya engkau meminta kepadanya, niscaya dia akan memberikan pembantu untuk kita.”

“Apa yang membawamu berubah begini?”

“Sebelumnya telah datang seorang perempuan ke rumah ini dan perempuan itu berkata; Suamimu mempunyai kedudukan yang baik di mata Muawiyah, sebaiknya engkau katakan kepada suamimu agar ia meminta kepada Muawiyah supaya diberikan pembantu yang membantu pekerjaanmu di rumah, niscaya dia akan memberikannya, dan kalian hidup lebih nyaman.”

Laki-laki itu mengehal nafas. Ia agak gusar dan menghempaskan badannya ke kasur jerami. “Ampuni aku ya Allah dan juga isteriku. Bukankah kami tak bersyukur. Ya Allah, orang yang merusak keluargaku dengan bujukannya itu buatlah dia buta matanya.”

Saat itu juga, ketika perempuan itu sedang duduk di rumahnya, tiba-tiba matanya gelap. Dia bertanya, “Mengapa lampu di rumah kalian dimatikan?” Ternyata ia telah menjadi buta. Lalu, dia segera mendatangi rumah tadi sambil menangis, dan meminta kepada laki-laki di situ untuk berdoa kepada Allah agar mengembalikan penglihatannya. Akhirnya dia berdoa kepada Allah agar penglihatan perempuan itu dikembalikan. Allah mengabulkan doanya dan mengembalikan penglihatan perempuan itu.

Baca Juga :  Tausiyah: Satu Dinar untuk Ibunda

Wanita itu bisa melihat kembali. Ia girang dan memeluk istri laki-lak itu. “Aku berjanji tak akan mengulang dan membujukmu meminta apa pun kepada suamimu terkait urusan dunia.”

Laki-laki itu adalah Abu Muslim Al-Khaulani. Ia memiliki nama asli Abdullah bin Tsaub asal Yaman. Ia diperkirakan lahir 15 tahun sebelum hijrah. Seharusnya dia termasuk generasi Sahabi atau disebut Sahabat karena sudah masuk Islam di zaman Nabi Muhammad SAW. Namun, karena belum pernah berjumpa dengan Rasulullah maka ia tak bisa disebut sahabat, dan masuk kelompok Tabi’in. Tak ubahnya dengan Uwaisy al-Qarni yang sama berasal dari Yaman. Abu Muslim juga seorang wali besar yang memiliki keramat tak mempan dibakar api oleh nabi palsu Aswad Al-’Ansi. Ia kemudian diusirnya dari Yaman.

Ketika ia tiba di Madinah, sekitar tahun 13 Hijriah Rasulullah sudah wafat dan umat Islam dipimpin Sayidina Abu Bakar. Sayidina Umar bertanya? Dari mana kalian? “Yaman.”

“Siapakah di antara kalian yang pernah mengalami pembakaran?”

“Abdullah bin Tsaub.”

“Engkaukah?”

“Allahumma iya.”

Sayidina Umar kemudian memeluknya sambil menangis dan berkata; “Aku bersyukur kepada Allah yang tidak mematikan aku sebelum berjumpa dengan umat Nabi Muhammad yang mengalami nasib sama dengan Nabi Ibrahim.”

Dalam sebuah riwayat, ia selamat karena selama pembakaran itu ia selalu mambaca Hasbunallah wa ni’mal wakil.

Suatu ketika, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Abu Muslim mendapat fitnah. Tuduhan itu sebenarnya tidak benar, tetapi karena situasi yang tidak menguntungkan, ia dijatuhi hukuman mati. Abu Muslim tidak membela diri. Ia menerima keputusan itu dengan lapang dada. “Jika ini adalah takdir Allah, maka aku menerimanya.”

Baca Juga :  Tidak Mengungkit Masalah di Hadapan Manusia adalah Ciri Ikhlas Beramal 

Ketika hukuman akan dilaksanakan, terjadi sesuatu yang luar biasa. Saat pedang yang akan digunakan untuk memenggal lehernya diayunkan, pedang itu justru patah sebelum menyentuh lehernya. Kejadian ini membuat para saksi dan algojo terkejut. Mereka mencoba lagi, tetapi pedang itu kembali patah, terjadi hingga tiga kali.

Melihat keajaiban ini, penguasa setempat sadar bahwa Abu Muslim adalah orang yang tidak bersalah dan dilindungi oleh Allah. Akhirnya, ia dibebaskan dan tuduhan terhadapnya dicabut. Khalifah Umar bin Khattab, yang mendengar kisah ini, memanggil Abu Muslim dan meminta penjelasan. Abu Muslim dengan tenang berkata, “Aku hanya berserah diri kepada Allah dan menerima takdir-Nya.”

Abu Muslim berkali-kali diracun oleh seseorang namun tidak mempan. Ketika ditanya, ia membuka rahasia, setiap akan makan atau minum selalu membaca; Bismillahi khayril asma alladzi la yadlurru ma’asmihi daun rabil ardli wa rabbis sama.”

 

Gandum

Suatu saat keluarga Abu Muslim kehabisan gandum dan harus beli. Abu Muslim meraba sakunya tak ada kepingan uang dirham.

“Aku tak memiliki uang, apakah engkau punya sesuatu?”

“Ada satu dirham dari penjualan benang hasil pintalan,” kata istrinya.

“Boleh aku pakai untuk membeli gandum.”. Ia mnmgambil serta kantong gandum.

Kemudian ia menuju pasar dan berhenti di salah satu kios penjual bahan makanan. Belum sempat beli, tiba-tiba ada seorang peminta menghampiri dirinya dan meminta sedekah. Dia pergi menghindar dari si peminta tersebut dan mendatangi kios lain. Akan tetapi, si peminta itu mengikutinya dan kembali menghampirinya untuk meminta sedekah. Lalu, dia pun pergi menghindar dan pindah ke kios lain. Namun, lagi-lagi si peminta itu mengikutinya dan meminta sedekah. Karena merasa jengah, akhirnya dia memberikan uang satu dirham itu kepada si peminta itu.

Baca Juga :  Tausiyah: Ulama yang Menjauhi Harta

Lalu ia termangu. Kemudian diambilnya kantong yang dibawanya dan mengisinya dengan serbuk kayu sisa kerja tukang kayu dicampur dengan tanah. Kemudian dia pulang dengan rasa takut kepada istrinya. Kantong itu ia letakkan di balik pintu rumahnya. Ia langsung menuju masjid.

Ketika dibuka oleh istrinya, ternyata isi kantong berisi gandum terbaik. Lalu, istrinya membuat adonan dan memasaknya menjadi roti dengan cita rasa terbaik.

Ketika waktu telah memasuki sebagian malam, Abu Muslim pulang ke rumah. Ia kaget setelah masuk dan duduk, istrinya menyuguhkan nampan berisikan roti hawari yang lezat kepadanya.

“Dari mana engkau bisa mendapatkan roti ini?” tanya Abu Muslim kepada istrinya.

“Wahai Abu Muslim, tentu saja dari gandum yang engkau bawa tadi.” jawab istrinya.

Mendengar jawaban istrinya, Abu Muslim menangis, lalu menyantap roti tersebut.

Abu Muslim wafat pada tahun 62 H dan dimakamkan di pemakaman Damaskus. “Musibah terbesar,” komentar Muawiyah saat wafatnya.

Dikembangkan secara bebas dari Uyunul Hikayat karya Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi terbitan Darul Kutubil Islamiah tahun 1971 kisah 37 halaman 58-59, kisah 85 halaman 104-105 dan dilengkapi dari Siyar A’lamin N

ubala karya Imam Adzahabi. (Musthafa Helmy)

Leave A Reply

Your email address will not be published.