Syaikh Ibnu Athâillâh al-Sakandarî berkata: “al-Anwâr Mathâyâ al-Qulûb wa al-Asrâr”, cahaya adalah kendaraan hati dan rahasia-rahasia. Maksud dari pernyataan al-Sakandarî di sini adalah bahwa cahaya Allah s.w.t. yang dianugerahkan kepada manusia merupakan gambaran yang ada dalam hati seseorang, berikut rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalamnya.
Jika seseorang telah memperoleh cahaya dari Allah s.w.t. dalam hatinya, maka segala apapun yang terdetik di dalamnya mengandung hikmah kebaikan, sehingga berdampak pada laku lampah kehidupannya. Lebih jauh, pensyarah kitab al-Hikam, yakni Ibnu Abbâd al-Randî membuat spesifikasi bahwa yang dimaksud oleh al-Sakandari ini adalah cahaya iman dan keyakinan. Keimanan dan keyakinan seseorang yang terhujam kuat dalam hati sanubari seseorang akan mengantarkannya selalu terhubung kepada Yang Maha Mengetahui, yakni Allah s.w.t..
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada kajian sebelumnya mengenai al-Wârid, ia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) al-Wârid agar manusia selalu menerima apa yang datangnya dari Allah s.w.t.. Wârid ini sering disebut dengan Wârid Intibâh atau kesadaran di mana manusia pada sisi spiritualitasnya menyadari bahwa dirinya adalah hamba yang tak punya kuasa dan daya, kecuali jika diberi al-Wârid oleh Allah s.w.t.. Apabila ditelisik lebih jauh, penerimaan manusia terhadap anugerah Allah berupa daya dan kekuatan, baik kekuatan akal, pikiran, dan fisik itu karena ia menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk lemah. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah” (QS. Al-Nisa, 04:38). Karena itulah dengan Wârid Intibâh ini, manusia akan selalu bergantung kepada Allah s.w.t., dan dengan kontinyu menempatkan-Nya dalam hati sanubari.
Selanjutnya yang ke (2) Wârid al-Iqbâl agar manusia mampu terbebas dari belenggu masa lalunya yang kelam dan penuh dosa. Pengakuan manusia terhadap dosa masa lalu merupakan perwujudan optimistis dalam rangka menerima rahmat Allah s.w.t.. Dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. menegaskan agar manusia selalu menatap masa depan dengan rasa optimistis. Tidak perlu pesimis bahwa Allah tidak akan mengampuni dosanya, karena rahmat-Nya mampu mengalahkan marah-Nya. Allah s.,w.t. berfirman: “Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. Yusuf, 12:87). Ayat dengan tegas menyatakan bahwa rahmat Allah begitu luas tak bertepi, ampunan-Nya memenuhi luasnya langit sehingga kita umat manusia dilarang untuk pesimis dari rahmat dan ampunan-Nya.
Karena itulah, dalam Hadits Qudsi, Allah juga berfirman: “Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya jika engkau senantiasa berdoa dan berharap kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak cucu Adam, jika seandainya dosamu memenuhi pitala langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya aku akan memberikan ampunan kepadamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam seandainya engkau menghadap kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau berjumpa dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, 3540, dan Ahmad, 13493).
Kemudian yang ke (3) adalah Wârid Wishâl agar manusia keluar dari kekangan ego sentris menuju kebebasan persaksian kepada Allah s.w.t. dan selalu terhubung kepada-Nya kapan dan di manapun. Artinya, membebaskan diri dari ego sentris dan membuangnya jauh-jauh dari diri seseorang, lalu menyematkan pakaian kehambaan merupakan media menuju Allah s.w.t.. Dengan kata lain, seseorang menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya merupakan proses untuk selalu bersambung dengannya, sebagaimana Dia menciptakan jin dan manusia untuk menghambakan diri kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur’an: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghambakan diri kepada-Ku”. (QS. Al-Dzariyat, 51:56). Menurut Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini adalah “Innamâ Khalaqtuhum Li Âmurahum bi ‘Ibâdatî Lâ Liihtiyâjî Ihaihim” , Sesungguhnya Aku (Allah s.w.t.) menciptakan mereka (jin dan manusia) untuk menghambakan diri kepada-Ku, bukan karena Aku (Allah s.w.t.) membutuhkan mereka.
Selanjutnya al-Sakandarî menegaskan bahwa cahaya itu merupakan laskar dari kalbu seseorang, sebagaimana kegelapan adalah laskar dari hawa nafsu. Karena itu, apabila Allah s.w.t. hendak menolong hamba-Nya, Dia akan memperkuat laskar kalbu yang bersamayam dalam hati hamba-Nya tersebut, serta memperlemah kekuatan laskar kegelapan yang menipu. Cahaya tauhid dan keimanan merupakan laskar dari hati, sedangkan kegelapan syirik dan keragu-raguan merupakan laskar dari hawa nafsu. Keduanya merupakan dua kutub yang saling berseberangan, bertentangan, dan bertolak belakang satu sama lain. Keduanya merupakan musuh abadi yang senantiasa berperang, mengalahkan satu sama lain. Namun demikian, kebatilan tidak akan pernah menang melawan kebenaran, karena Allah s.w.t. senantiasa berada di pihak kebenaran dengan menguatkan cahaya dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia menegaskan hal ini dalam firman-Nya: “Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”. (QS. Al-Isra, 17:81).
Karena itu, apabila hati condong kepada perbuatan yang terpuji, meskipun terasa sakit pada saat ini, namun akan terasa nikmat pada akhirnya. Dan apabila hawa nafsu condong kepada perbuatan yang tercela, meskipun terasa nikmat pada saat ini, namun akan terasa sakit pada akhirnya. Perseteruan keduanya abadi dalam sejarah kehidupan manusia, keduanya akan saling tarik-menarik satu sama lain dan saling mengalahkan. Dari sini dapat kita pahami bahwa perbuatan yang benar, meskipun terasa sulit atau tidak menyenangkan pada awalnya. Karena pada akhirnya, perbuatan yang benar akan membawa kebahagiaan dan kenikmatan yang abadi. Sebaliknya, perbuatan yang salah mungkin terlihat menyenangkan pada awalnya, namun pada akhirnya akan membawa rasa sakit dan penyesalan. Wallâhu A’lam bis Shawâb.
(Transkip pengajian Syarah Hikam oleh Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar pertemuan ke-84 live di TVNU).