Jumpa Wali di Arafah

0

Awal bulan Zulhijjah 160 Hijriyah bertepatan dengan 10 September 777. Syekh Abdullah bin Mubarak sudah tiba di Mekah dengan rombongannya setelah menempuh perjalanan panjang selama empat bulan lebih. Imam berangkat dari Merv (Khurasan) sejak akhir  Syakban. Mereka sempat singgah dulu di Madinah dua pekan.

Tak disangka jika tahun ini adalah paceklik hebat melanda wilayah Hijaz (Mekah, Madinah dan sekitarnya). Mekah justru lebih parah sehingga banyak orang menderita kurang makan dan minum terutama jemaah haji yang diperkirakan jumahnya mencapai 300.000 orang. Imam bersama ratusan Jemaah haji asal Khurasan, sebuah negeri yang ditaklukkan tantara Islam tahun 40 Hijriah.

Kekeringan itu membuat banyak jemaah haji yang kesulitan mendapatkan makanan dan air. Kondisi ekonomi sangat sulit.

Ibnu Mubarak dikenal sebagai pedagang kaya dan dermawan. Ia menggunakan hartanya untuk membantu jemaah yang kesulitan. Ia menggunakan seluruh bekal hajinya untuk membeli makanan bagi orang miskin di Mekah, kala itu. Bekal dinar dan dirhamnya dipergunakan untuk membantu Jemaah haji.

Ibnu Mubarak bukan keturunan bangawan. Ia yang lahir pada tahun 118 H (736 M) justru dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Mubarak, adalah seorang mantan budak yang saleh asal Turki. Begitu istimewa dan salehnya, hingga ia diminta menyunting seorang anaknya.

Ia termasuk terlambat belajar agama, setelah bersuai 20 (sebagian menyebut 23) tahun. Setelah berguru di Merv dan Khurasan, ia kemudian belajar di Madinah pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah, kemungkinan sekitar 140–150 H (757–767 M). Ia berguru kepada para ulama besar, terutama dalam ilmu hadits dan fikih. Salah satu guru utamanya adalah Imam Malik bin Anas (pendiri mazhab maliki) dan pengarang kitab Al-Muwaththa’. Selain itu, ia juga belajar dari Imam Sufyan ats-Tsauri, Hammad bin Zaid, dan banyak ulama Tabiin lainnya.

Madinah, sebagai pusat ilmu pada masa itu, menjadi tempat penting bagi perjalanan intelektual Ibnu Mubarak. Setelah menimba ilmu, ia kemudian menyebarkannya ke berbagai wilayah, termasuk Khurasan, Irak, dan Syam. Meskipun bukan keturunan ulama, ia mencapai kedudukan tinggi dalam ilmu, akhlak, dan jihad. Ilmu menjadikannya salah satu tokoh paling dihormati pada masanya.

Ia dikenal sebagai ahli hadits, pejuang dan  memiliki beberapa karya dalam berbagai bidang, terutama dalam hadis, zuhud (kesederhanaan dalam hidup), dan jihad. Karyanya  antara lain: Kitab az-Zuhd wa ar-Raqā’iq, Kitab al-Jihād (membahas keutamaan jihad dan mencatat  berbagai kisah para mujahid), Musnad Abdullah bin al-Mubarak, Kitab at-Tafsīr, dan beberapa kitab lainnya.

Selain itu, ia juga memiliki banyak ucapan-ucapan hikmah yang sering dikutip oleh para ulama setelahnya. Karya-karyanya sangat dihormati, terutama dalam bidang hadits dan zuhud (tasawuf).

Meskipun Merv (sekarang masuk wilayah Turkemenistan) adalah tempat asalnya, namun ia banyak menghabiskan waktu dalam perjalanan untuk menuntut ilmu, berdagang, dan berjihad. Ia sering pergi ke Hijaz (Mekah dan Madinah) untuk menunaikan haji dan menimba ilmu dari para ulama di sana. Ia  juga melakukan perjalanan ke Irak, Syam (Suriah), Mesir, dan berbagai wilayah lain untuk belajar dan mengajarkan ilmu.

Disebutkan bahwa ia membagi waktunya menjadi tiga bagian setiap tahun.  Sepertiga untuk berdagang. Ia mencari nafkah dan menggunakan hasilnya untuk membantu orang lain, termasuk para ulama dan murid-muridnya. Sepertiga untuk berjihad, dan sepertiga untuk berhaji dan perjalanan yang banyak menghabiskan waktu hidupnya.

 

Seorang Wali

Bekal Ibnu Mubarak sudah menipis untuk bersedekah membantu jemaah haji dari mana pun asalnya, termasuk membayar tukang membawa air Zamzam untuk dikirim ke Arafah dan Mina. Gubernur Mekah kala itu Musa Al-Hadi memerintahkan semua Jemaah dan warga Mekah salat istisqa’ (minta hujan). Bahkan Khalifah Al-Mahdi (ayah Harun Al-Rasyid) dari dinasti Abasiyah juga memerintahkan hal yang sama untuk wilayah Hijaz dan juga lainnya yang sangat menderita kekeringan.

Namun sudah berkali-kali sejak tanggal 6 Zulhijjah namun tak turun juga hujan. Banyak Jemaah menangisi dosa-dosanya. Ibnu Mubarak senantiasa keliling sambil berdoa dari beberapa kelompok yang melaksanakan salat itu.

Tapi, ia tiba-tiba menatap sesorang yang berbaju kumuh dan berambut kusut. Usia sekitar 40 tahun. Ia sendirian berdiri di sisi Jabal Rahmah. Ia menatap langit. “Ya Allah hamba-Mu sudah tidak tahan melihat hamba-hamba-Mu yang tak mampu menahan ujian-Mu dalam bentuk kekeringan yang parah ini. Sayangilah mereka. Aku mohon kepadamu. Sayangilah mereka dengan turunkan hujanmu. Demi kemuliaaan-Mu akan tak bangkit dari sujudku hingga engkau basahi mereka dengan rahmat-Mu.”

Ibnu Mubarak menatap laki-laki itu dari jarak tidak jauh. Ajaib, awan yang sangat terang itu tiba-tiba menjadi gelap. Tak lama hujan sangat deras sehingga semua orang keluar tenda dan ingin menikmati air hujan dari Allah. Mereka membiarkan pakaiannya basah kuyup sembari bertakbir.

Laki-laki itu lantas kabur, Ibn Mubarak mengejar tanpa sepengetahuannya. Hampir terlewat karena begitu gesit jalannya. Tiba-tiba masuk dalam sebuah tenda yang dijaga. Ibnu Mubarak dicegahnya masuk.

“Hanya untuk mereka yang akan membeli budak saja,” kata penjaga itu.

Ibnu Mubarak akhirnya mengiyakan. “Aku akan membeli budak yang baru saja masuk.”

“Masuklah.”

Di dalam banyak budak yang biasa dibeli jemaah haji dari mana-mana untuk dibawa pulang atau  dimerdekakan.

“Siapa yang engkau cari?” kata penjual itu.

“Aku mencari seseorang yang baru saja masuk.”

“Oh itu.”

Laki-laki itu muncul dengan sedikit kaget. “Biasanya harga laki-laki ini 20 dinar, tapi untukmu cukup bayar 10 dinar.”

“Tidak aku akan membayarnya 27 dinar,” kata Ibnu Mubarak.

Laki-laki itu kamudian mengikuti langkah Ibnu Mubarak sebagai tuan barunya. “Mengapa tuan sudi ngambilku, aku budak lemah yang tak akan mampu melayani tuan,” kata laki-laki itu.

“Justru aku ingin menjadikanmu tuan dan aku ingin berkhidmat untukmu. Aku menyaksikan doamu sehingga hujan deras turun lama.”

“Engkau menyaksikannya?”

“Iya.”

“Lantas, apakah engkau akan memerdekakanku?”

“Benar, engkau telah merdeka,” kata Ibnu Mubarak yang lantas dipeluknya erat.

Keduanya lantas berwudulu dan manunaikan salat sunnah dua rekaat. Budak itu lantas berdoa dengan suara lirih. “Ya Allah aku telah mengabdi kepadamu selama 30 tahun dan engkau berjanji untuk merahasiakan kududukanku. Namun sudah ada yang melihat kedudukanku di sisi-Mu, maka tutuplah hidupku.”

Tiba-tiba ia meninggal dunia dalam duduk. Seorang wali telah pergi yang diikuti kembali gelap gulita Arafah meneruskan hujan yang didamba.

Dikutip bebas dari Annawadir karya populer Syekh Sihabuddin Al-Qalyubi (118-181H), koleksi Universitas Columbia New York, AS (B53169) versi digital halaman 7 dan 8, kisah kesembilan. Dilengkapi dengan tulisan Muhammad Utsman Jamal, Abdullah bin Mubarak: Imam Al-Qudwah, Darul Qalam, Damaskus, 1419/1998. (Musthafa Helmy)

Leave A Reply

Your email address will not be published.