Sikapi Perkawinan Anak, Alissa Wahid : Organisasi Keagamaan Memegang Kuncinya

0

RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Nyai Hj. Alissa Wahid mengungkapkan tingkat kemaslahatan dari suatu keluarga dapat menjadi faktor dalam fenomena pernikahan anak yang terjadi saat ini. Pandangan ini beliau sampaikan dalam acara Diskusi Publik Pojok Kramat yang diselenggarakan Gedung PBNU, Kramat, Jakarta Pusat pada Rabu (28/8/24).

 

Perempuan yang karib disapa Mba Lisa ini menyebut organisasi keagamaan memegang peranan penting dalam menyikapi fenomena tersebut sebab tidak hanya disikape dengan menggunakan pendekatan hukum, tetapi juga diperlukan penanaman nilai-nilai, pemahaman, dan budaya untuk mengubah pola berpikir.

 

Misalnya ketika Nahdlatul Ulama (NU) menanamkan nilai tentang kemaslahatan keluarga yang tidak hanya diukur dari kesejahteraan ekonomi, tetapi juga bagaimana keluarga memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.

 

“Ketika keluarga maslahat, ia akan berpikir dampaknya (perkawinan anak) kepada masyarakat. Ini masalah keyakinan nilai-nilai, bukan hanya sebatas perkawinan anak itu tidak boleh atau tidak baik, tetapi soal kemaslahatannya itu sendiri,” katanya

 

Sementara dalam menyikapi kemaslahatan keluarga terkait dengan perkawinan dan usia perkawinan harus juga melihat konteks masa kini tidak hanya biologis.

 

“Ini yang saya temui banyak orang tua memilih untuk menikahkan saja daripada berzina,” tuturnya.

 

Padahal menurutnya, memasukkan anak ke dalam fase pernikahan pada usia 15-16 tahun itu memiliki resiko yang jauh lebih besar daripada membantu anak untuk mengelola dorongan seksual.

 

“Ada banyak sekali cara untuk membantu anak suapaya tidak zina, yang dimulai tentu mendidik anak dengan baik. Tidak dengan menikahkan,” katanya.

 

Beliau menekankan penjelasan bahwa hukum pernikahan tidak sesederhana sunnah/dianjurkan karena menikahkan dapat menjadi jalan untuk menjemput sekian banyak mudharat yang lebih besar, seperti resiko kesehatan reproduksi, kehamilan, dan meninggalnya ibu saat melahirkan dan sebagainya.

 

Tidak hanya dalil agama, beliau mengungkapkan dalam penelitiannya faktor pertama pernikahan anak adalah tradisi.

 

“Nenek saya melahirkan ibu saya pada saat usia 14 tahun, setelah itu melahirkan lagi 17 kali, wafatnya usia 80 tahun. Jadi kemudian masyarakat mengatakan, “ah nenek saya juga dulu melahirkan muda ko, juga kawin anak ko, panjang umur ko”,” ujarnya memberi contoh.

 

(Anisa).

Leave A Reply

Your email address will not be published.