Misteri Selembar Kertas

0

Syafran Shah mulai merasakan penatnya setelah seharian bekerja mencermati angka-angka pemasukan dan pengeluaran anggaran Gubernur Punjab Ghazi Malik Tughluq. Syafran terkenal sebagai kepercaan gubernur. Ia sangat amanah dan menguasai 12 bahasa. Sehingga setiap kunjungan atau kepergian sang gubernur ia selalu mendampinginya.

Bahkan ketika Sultan Alauddin Ghazi penguasa Dinasti Khalji menerima tamu dari luar negeri termasuk dari Eropah, Arab, China, Asia Tenggara dan lainnya, Syafran selalu menjadi penerjemah yang piawai. Syafran yang keturunan Persia itu telah malang melintang hidupnya di berbagai negara.

Hampir ia memicingkan mata, pintu diketuk seseorang. Ia segera bangkit dan menyalakan lampu dengan minyak binatang. Ternyata, Babur, pengawal istana.

“Gubernur memanggil tuan,” katanya.

“Semalam ini?”

Babur mengangguk.

Untungnya malam itu purnama tengah menebar sinar terbaiknya sehingga rona kota begitu indah di malam hari. Bayang-bayang pepohonan seolah makhluk hidup yang perlu diamati. Anginpun meniup serta menyapa bagaikan belaian sayang.

Gubernur tengah bercengekerama dengan Puteri Sasha serta ketujuh anak-anaknya yang sebagian beranjak dewasa. Cantik-cantik serta tampan.

Maaf Tuan Bendahara, aku memanggilmu hanyan ingin memberikan buah-buahan Azerbeijan dan Persia untuk keluargamu,” kata Gubernur sambil menyerahkan sekarung buah.

Begitu banyak buah-buahan yang diberikan, beraneka ragam yang mengingatkan Syafran di waktu muda dulu di Kandahar dan Balkh. Ia segera pulang setelah menerima. Sepnjang jalan, siapa yang ditemuinya, peronda diberinya buah itu. Hingga ia terkaget ketika Bahadur mencegatnya.

“Ada apa?”

“Ambil sesukamu buah-buahan ini.”

Bahadur mengambil banyak sekali bahkan Syafran kebagian sebagian kecil buah peer, aprikot, persik, plum asam, ceri dan buah beri. Syafran bahagaia bisa membahagiakan orang lain karena di rumahnya ia hanya bersama isteri dn ibunya, Khatun. Sedangkan tiga anaknya belajar di Delhi.

Baca Juga :  Don’t Cry for me Palestina

Bahadur menyalami Gubernur usai salat Subuh di masjid Punjab. “Terima kasih gubernur saya bisa menikmati buah-buahan yang langka di sini?”

“Dari mana?”

“Syafran.”

”Oh rupanya ia bagikan ke mana-mana.”

Banyak perbincangan sambil jalan menuju istana tentang berbagai hal, hingga kemudian Bahadur menyebut Syafran yang sebenarnya memiliki watak yang kurang baik, kurang menghargai atasan. Buah hadiah atasan dibagikan seolah ia tak butuh dan tak mengharap.

“Bagaimana mungkin,” kata Gubernr.

“Kalau dari jauh ia kelihatan baik Tuanku. Tapi, kalau dari dekat ia akan menghindari tuan.”

“Ah.”

Terbukanya pintu gerbang istana memisahkan keduanya. Gubernur begitu masgul dengan kata-kata Bahadur, teman kecilnya itu. Tapi, apakah mungkin Syafran akan berkhianat. Dia seorang amanah, pendatang yang sangat setia dan saleh.

Bahadur pagi itu juga tergopoh-gopoh membawa makanan yang penuh aroma bawang ke rumah Syafran. “Ayo kita nikmati bersama kambing dan nasi Biryani khas Punjab,” katanya. Syafran tak bisa menolak makan masakan yang sangat menyengat aroma bawang Bombaynya itu. Tapi, diakui, memang lezat.

 

Kertas Misterius

Pagi itu sebagaimana biasa Syafran harus menghadap gubernur membahas anggaran harian bersama beberapa staf. Karena ada mata anggaran yang sedikit rahasia sehingga tak perlu diketahui yang lain, gubernur mendekati Syafran. Tapi, Syafran menghindari karena mulutnya bau bawang. Ia menghindar dengan menutupi mulutnya. Dikesankan ia menutipi hidungnya.

Gubernur naik pitam, tapi, tak dikatui orang. Ia masuk ke kamar kerjanya dan memberi amplop tertutup dan disegel lilin.

“Berikan kepada sekretarisku,” kata Gubernur.

Ketiuka Syafran kelyuar dilihatr bahadur membawa surat bersegel. Biasnya ampolop bersegel adalah perintah untuyk mncarikna hadiah.

“Biar buat aku saja yang menyerahkannya,” kata Bahadur, girang.

Baca Juga :  Tidak Mengungkit Masalah di Hadapan Manusia adalah Ciri Ikhlas Beramal 

Syafran yang ikhlas dan lugu itu memberinya begitu saja.

Keesokan harinya Gubenur kaget melihat Syafran datang menghadap lagi seperti biasanya.

“Sudah kau berikan suratku kemarin?”

“Maaf Tuan Gubernur. Surat itu diminta Bahadur dan kami serahkan kepadanya.”

Gubernur kaget dan memukul jidatnya. “Kemarilah Syafran,” katanya sambil menarik tangan Syafran. Kali ini Syafran bisa menghadap gubernur dari dekat tanpa harus menutup mulutnya. Hal ini juga mengherankan gubernur.

“Ceritakan kepadaku mengapa kemarin engkau menutup hidung dan mulutmu saat dekat denganku,” kata Gubernur.

“Maaf paduka, kami pagi kemarin itu diajak makan Bahadur makan nasi Biryani yang penuh bawang Bombai. Baunya sangat menyengat jadi kami takut mengganggu penciuman paduka.”

“Bahadur? Bahadur?”

Gubernur teringat subuh kemarin usai Subuh ketika Bahadur bercerita tentang ‘pengkhianatan’ Syafran.

“Maafkan dia. Dia bercerita bahwa engkau tak suka aku dengan menutup hidung dan mulutmu jika di dekatku.”

“Kami orang yang setia paduka. Kami orang Persia yang dididik setia kepada atasan dan pemerintah,” katanya.

“Tahukah engkau apa isi surat itu?”

“Tidak, paduka. Hanya, biasanya surat seperti itu perintah untuk memberi hadiah istimewa.”

Gubernur tertawa. “Isinya tertulis: Pembawa surat ini harus dihukum mati.”

 

Menjadi Sultan

Meninggalnya Sultan Khalji Alauddin Ghazi, penggantinya adalah Sultan Khosru yang lemah sehingga membuat Gubernur Punjab Ghazi Malik menggantikannya dengan kudeta. Ia kemudian diberi gelar Sultan Ghiyassuddin Tughluq yang memerintah Dinasti Tughluq 1320-1325. Tughluq adalah nama keluarga asal Turki. Ia sultan pertama dinasti itu yang memberikan Syafran jabatan terhormat.

Ia memperlihatkan keterikatannya secara formal terhadap agama, mengakui kekhilafahan Abbasiyah di Bagdad sebagai pemimpin umat Muslim. Dinasti Tughluq secara umum sangat menghormati ulama. Rezimnya merupakan rezim Muslim pertama yang mengintegrasikan sejumlah panglima perang Turki, kalangan feodal Hindu, tentara asli India dan ulama Muslim dalam elite politiknya.

Baca Juga :  Gus Dur, NU dan Nabi Khidlir

Diadaptasi, dikutip dan dikembangkan bebas dari kitab Nuzhatul Majalis wa Muntakhabun Nafais, karya Syekh Abdurrahman bin Abdussalam As-Shafuri As-Syafi’i (sejarawan Mekah wafat tahun 897H/1489M) halaman 5-6. (Musthafa Helmy).

Leave A Reply

Your email address will not be published.