Belut, Ular dan Kiai

0

Beda pendapat adalah hal lumrah di kalangan ulama. Misalnya, ada ulama yang membolehkan makan kepiting, sementara yang lain hanya membolehkan makan rajungan.

Ada pula yang membolehkan makan belut dan ada pula yang melarangnya. Tentu ulama-ulama itu memiliki alasan sendiri yang di antara mereka juga saling menghargai dan menghormati perbedaan ijtihad masing-masing itu.

Rajungan sebenarnya kelompok kepiting juga dari genus Portunidae. Jenis-jenis kepiting ini dapat berenang dan sepenuhnya hidup di laut. Perbedaan rajungan dengan kepiting terletak pada capit yang panjang dan tubuhnya lebih ramping dibanding kepiting.

Sedangkan belut adalah sekelompok ikan berbentuk mirip ular (bukan jenis ular) yang termasuk dalam suku Synbranchidae. Jenis-jenisnya banyak dan bersifat pantropis (ditemukan di semua daerah tropis).

Nah, ada dua ulama yang kebetulan namanya sama, sebaya pula dan pernah belajar di Mekah dengan guru yang sama. Tapi ketika berhadapan dengan belut mereka berbeda pendapat. Dua ulama itu adalah Kiai Ahmad Soleh bin Kiai Noer dari Langitan dan Kiai Muhammad Sholeh Tsani dari Bungah Gersik. Dua ulama yang tinggal dalam jarak sekitar 50 kilometer ini sering saling kunjung. Dalam persahabatannya juga mewarisi ilmu dari perdebatan yang mengasyikkan.

Kiai Ahmad Soleh (pengasuh generasi kedua ponpes langitan) berpendapat bahwa belut haram dimakan karena secara fisik lebih mirip ular daripada ikan.

Memang dalam fikih, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hanbali mengharamkan mutlak ular. Tapi, mazhab Maliki membolehkan daging ular sepanjang tidak membayayakan, karena ular mengandung bisa yang bisa membahayakan manusia yang menyantapnya.

Sedangkan Kiai Sholeh Tsani pengasuh kelima Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah Gresik bersikukuh bahwa belut adalah sejenis ikan tawar, baik cara hidup maupun rantai makanannya tak sama dengan ular, hanya saja berfisik seperti ular. Tak mengandung bisa.

Baca Juga :  Kiai yang Menolak Dilantik DPR

Dua ulama pengasuh pondok besar dan bersejarah itu saling bersahabat dan sama-sama faham ilmu agama. Keduanya saling menguatkan hujjah masing-masing, bahkan sambil membuka kitab, sambil canda, dan mungkin sambil menikmati kopi.

KH. Ahmad Sholeh lahir Langitan tahun 1836. Ia mengasuh pesantren Langitan sekitar 32 tahun (1870-1902 M.) sepulangnya dari Mekah dan menggantikan ayahnya Kiai Muhammad Noer. Di masa Kiai Sholeh Langitan memperoleh kemajuan yang sngat pesat.

Sementara KH. Muhammad Sholeh Tsani dilahirkan di desa Rengel, Tuban, juga pada tahun 1254 H (1836 M). Pada tahun 1286 H (1869 M) ia melaksanakan ibadah haji dan tinggal di Mekah setahun. Ia manfaatkan mengaji antara lain kepada Sayyid Bakri Syatha, pegarang I’anatuth Thalibin di Mekkah. Di Mekah keduanya bertemu.

Perdebatan itu kadang terjadi di Langitan dan juga Bungah. Pokoknya, belut menjadi bahasan tak pernah berhenti. Karena tidak ada titik temu akhirnya keduanya saling menyerah. “Udah begini saja, siapapun diantara kita yang meninggal lebih dahulu maka dialah yg lebih benar pendapatnya”.

Kedua ulama itu akhirnya berhenti membahas belut dan beralih membahas lainya. Jika ada orang bertanya hukum makan belut, maka jawabannya, tetap ada dua pendapat. Jika ikut pendapat Kiai Sholeh Langitan, dilarang. Jika ikut Kiai Sholeh Bungah, boleh.

Subhanallah. Ternyata kedua ulama saleh yang namanya sama dan sebaya itu wafat di hari yang sama dan waktu yang juga hampir bersamaan. Keduanya wafat tahun 1902 M atau 1320 H dalam usia 66 tahun.

Kiai Sholeh Langitan dimakamkan di TPU Mandungan Kecamatan Widang Kabupaten Tuban, sekitar 400 meter utara Pondok Pesantren Langitan.

Sementara Kiai Sholeh Tsani dimakamkan di Bungah, Haul Kiai Sholeh Tsani yang ke 126 pada Desember lalu

Baca Juga :  Ketika Haji Tak Jadi Diselenggarakan

dihadiri ribuan jemaah. (MH)

Leave A Reply

Your email address will not be published.