RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Dalam beberapa tahun terakhir, muncul perdebatan di kalangan umat Islam mengenai hukum berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban (hari-hari setelah malam nisfu sya’ban).
Sebagian umat Islam beranggapan bahwa berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban adalah haram. Menurut Ustadz Muhammad Tantowi sebagaimana dikutip dari NU Online https://islam.nu.or.id/syariah/benarkah-puasa-pada-paruh-kedua-bulan-syaban-itu-haram-VXEQD anggapan ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Hurairah RA:
“إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا تَصُومُوا“
Artinya: “Ketika separuh bulan Sya’ban tersisa, maka kalian jangan berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini oleh At-Tirmidzi dinilai sebagai hadits hasan dan sahih. Namun, dalam menyimpulkan hukum berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban, tidak cukup hanya berpedoman pada satu hadits ini.
At-Tirmidzi juga menghadirkan hadits lain dari Abu Hurairah yang memberikan konteks lebih luas yang artinya, “janganlah kalian berpuasa mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa! Kecuali puasa tersebut bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang di antara kalian.” (HR. At-Tirmidzi)
Berdasarkan dua hadits ini, At-Tirmidzi menyimpulkan bahwa larangan berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban hanya bersifat makruh, khususnya bagi orang yang sengaja berpuasa untuk menyambut bulan Ramadhan tanpa adanya kebiasaan berpuasa sebelumnya.
Pandangan Ulama Lain
Senada, Imam An-Nawawi juga memberikan penjelasan serupa. Menurutnya, berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban tetap diperbolehkan jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis.
Namun, An-Nawawi mengingatkan agar tidak berpuasa pada hari yang meragukan (Yaumus Syak), yaitu hari ketika belum jelas apakah masih bulan Sya’ban atau sudah memasuki bulan Ramadhan.
وَسَوَاءٌ فِي النَّهْيِ عِنْدَنَا لِمَنْ لَمْ يُصَادِفْ عَادَتَهُ وَلَا وَصَلَهُ يَوْمَ الشَّكِّ وَغَيْرَهُ فَيَوْمُ الشَّكِّ دَاخِلٌ فِي النَّهْيِ
Artinya: “Dan sama dalam hal larangan (berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban) menurut kami (adalah) bagi orang yang kebiasaannya tidak bertepatan dengan puasa. Dan juga tidak bertepatan dengan hari ragu dan lainnya. Karena hari ragu masuk dalam kategori larangan.” (An-Nawawi, al-Minhaj Fi Syarhi Shahih Muslim Bin Hajjaj)
Di sisi lain, Al-Baihaqi memberikan pandangan yang berbeda. Ia mengutip hadits dari Aisyah RA yang menyatakan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan yang paling disukai Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa, dan beliau sering menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadhan.
“Dari Abdullah bin Abu Qais bahwa ia mendengar Aisyah berkata: Bahwa bulan yang paling disukai Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa adalah Sya’ban. Kemudian beliau sambung puasa Sya’ban tersebut dengan Ramadhan.” (HR. Al-Baihaqi)
Berdasarkan hadits ini, Al-Baihaqi berpendapat bahwa puasa pada paruh kedua bulan Sya’ban tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga bisa menjadi anjuran, terutama bagi mereka yang memiliki kebiasaan berpuasa sunnah.
Dari berbagai pandangan ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban tidak sampai pada tingkat haram. Larangan yang ada hanya bersifat makruh, khususnya bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sebelumnya.
Namun, bagi mereka yang terbiasa berpuasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Daud, berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban tetap diperbolehkan.
Selain itu, bagi mereka yang ingin mengqadha puasa Ramadhan tahun sebelumnya atau memiliki kebiasaan berpuasa, berpuasa pada paruh kedua bulan Sya’ban tidaklah masalah. Yang perlu dihindari adalah berpuasa pada hari yang meragukan (Yaumus Syak), yaitu hari ketika belum jelas apakah masih bulan Sya’ban atau sudah masuk bulan Ramadhan. (Ekalavya).