PUASA ANTARA KEWAJIBAN AGAMA DAN KEBUTUHAN MEDIS

0

Preambule

Perkembangan media sosial yang cukup masif, seolah mendobrak sekat interaksi manusia dengan sesamanya. Tempat dan waktu saat ini tidak menjadi penghalang untuk saling berkomunikasi maupun berbagi informasi dan tips dengan segala ragam dan macamnya. Media sosial telah menjadi universe tersendiri bagi masyarakat millenial, Gen-Z, dan Alpha yang setiap saat berkutat dalam interaksi digital. Sejak beberapa tahun silam, penulis bergabung dengan sebuah grup yang secara khusus membincang kesehatan dan kiat-kiat melepaskan diri dari jeratan diabetes tanpa mengonsumsi obat. Penulis amati banyak orang terbantu bebas dari kekangan diabetes yang bertahun-tahun menggerogotinya lewat informasi yang diberikan oleh sesama anggota grup dengan latar belakang praktisi kesehatan.

Bagi penulis, mendapatkan informasi penting mengenai kesehatan terkait metabolisme tubuh yang cukup komplit tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun merupakan anugerah luar biasa. Karena tidak sedikit di luar komunitas itu, orang rela mengeluarkan uang dengan jumlah yang cukup fantastis, guna berkonsultasi mengenai kesehatannya. Informasi kesehatan yang didapat oleh anggota grup facebook sebagaimana yang penulis paparkan di atas tidak rumit, bahkan mampu dilakukan oleh siapapun. Dengan melakukan tips yang didapat, tidak perlu mengeluarkan uang, malah sebaliknya membantu menghemat biaya hidup. Mengapa demikian? Karena tips hidup sehat yang dimaksud adalah berpuasa. Mengapa berpuasa? Dalam catatan sederhana ini, penulis mencoba menjawab pertanyaan itu menurut kacamata agama dan penelitian medis.

Sejarah Puasa Dalam Tradisi Agama-Agama

Fenomena realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang mampu kita amati saat ini, tidak terjadi dalam waktu singkat. Ada proses kronologis yang mengikat dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga mewujud secara dinamis dan seimbang. Jika meminjam istilah Albert Einstein mengenai dinamisasi alam semesta, bahwa “Tuhan sedang tidak bermain dadu” adalah ungkapan mengenai keselarasan alam semesta yang didesain sedemikian rupa lewat kerja-kerja kosmik yang seimbang. Artinya, peristiwa kronologis terkait fenomena di dunia secara khusus dan alam semesta secara umum, tidaklah seperti pesulap yang mampu mewujudkan sesuatu hanya dengan mantra “bim salabim abakadabra” langsung jadi. Apabila seseorang berpikir bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini terjadi tanpa proses natural yang melatar-belakangi-nya, maka bisa dibilang -mungkin- ada masalah dengan cara berpikirnya.

Proses natural inilah yang menurut kacamata ajaran Islam disebut dengan “Sunnatullah” atau hukum kausalitas, yaitu hubungan sebab akibat antara dua fenomena, di mana fenomena satu sebagai sebab mempengaruhi fenomena lain sebagai akibat. Selama langit belum runtuh dan bumi belum tenggelam di lautan kosmik, “sunnatullah” atau hukum kausalitas akan terus berlaku serta tidak bisa diubah oleh siapapun. Allah dengan tegas menyatakan: “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnatullah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnatullah itu”. (QS. Fathir, 35:43).

Baca Juga :  KEMERDEKAAN DAN EGALITARIANISME

Kembali pada topik sub judul tulisan ini, puasa, sebagai salah satu pondasi rukun Islam merupakan syariat yang tidak ujug-ujug ada. Sejarah mencatat, terdapat proses kronologis yang cukup panjang dalam perjalanannya, sehingga menjadi sebuah piranti utuh yang kita kenal sekarang. Karena itu, puasa bukanlah “pure islamic sharia” atau syariah murni yang lahir sejak Nabi Muhammad s.a.w. diangkat menjadi Rasul. al-Qur’an sendiri menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah, 02:183).

Jika dipahami secara mendalam, ayat di atas hendak memberikan informasi kepada kita bahwa puasa merupakan ritual keagamaan yang tidak diberlakukan kepada umat Islam saja. Tradisi berpuasa sudah ada jauh sebelum Islam lahir, baik dalam tradisi kristen maupun Yahudi, bahkan jauh sebelum kedua agama itu lahir, orang-orang Hindu sudah mengenal puasa yang disebut “Upawasa”. Barangkali, istilah puasa yang kita kenal saat ini adalah serapan dari kata “Upawasa” yang berasal dari bahasa Sansekerta. Apabila mengacu pada sisi morfologis antara “Upawasa” dengan “Puasa” penulis rasa ada kemiripan dalam hal pelafalan.

Penulis menduga, proses evolusi dari upawasa ke puasa banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya logat masyarakat yang mendiami suatu daerah. Salah satu contoh bagaimana puasa ini diucapkan dengan lafal yang berbeda oleh masing-masing suku, seperti orang Madura mengenal puasa dengan “Pasah”, lalu orang Jawa mengenalnya dengan “Poso”. Meskipun berbeda dalam pelafalan, namun maknanya sama, yaitu “menahan diri dari”. Hal ini mirip dengan pengertiannya menurut Islam, di mana secara bahasa shaum/shiyam, adalah al-Imsâku yang artinya “menahan diri dari”.

Puasa dan Kesehatan

 Para pembaca mungkin sering mendengar sebuah hadits yang cukup masyhur, yakni “Shûmû, Tashihû” yang artinya: “Berpuasalah kalian, niscaya sehat”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani, dalam kitab kitab “al-Mu’jam al-Aushat” nomor 8312, dari jalur Abu Hurairah. Meskipun menurut pandangan para kritikus hadits, di antaranya seperti Zainuddîn al-Irâqî dianggap sebagai hadits lemah, namun dalam fakta medis, hadits tersebut bisa dibuktikan secara ilmiah. Penulis cukup punya keberanian untuk mengklaim hal itu, karena didasarkan pada hasil penelitian di sebuah jurnal internasional yang berjudul “Fasting Consequences during Ramadan on Lipid Profile and Dietary Patterns”. Jurnal ini membahas dampak puasa Ramadan terhadap profil lipid dan pola makan. Studi ini dilakukan di Kermanshah, Iran, dengan metode kohort intervensional pada 160 subjek pria yang berpuasa. Data dikumpulkan sebelum, selama, dan setelah Ramadan melalui kuesioner demografi dan FFQ serta pengukuran tekanan darah dan sampel darah.

Baca Juga :  Refleksi Akhir Tahun 2024; Mengharap Resolusi Yang (Tak) Bersolusi

 Penelitian tersebut dilakukan dalam tiga tahap, yakni sebelum Ramadan, akhir Ramadan, dan satu bulan setelahnya. Data dikumpulkan melalui wawancara dan pengisian FFQ, pengukuran tekanan darah dengan sfigmomanometer digital, serta pengambilan sampel darah untuk analisis profil lipid (LDL, HDL, kolesterol total, trigliserida), kadar urea, dan kreatinin. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan pada kadar kolesterol total (P=0,02), LDL-C (P=0,001), HDL-C (P=0,001), dan BUN (P=0,002) setelah Ramadan. Sebaliknya, trigliserida menurun selama Ramadan (P=0,04) namun kembali ke tingkat semula satu bulan setelahnya. Tekanan darah sistolik meningkat sedangkan tekanan darah diastolik menurun selama Ramadan. Konsumsi sereal, produk susu, dan daging berkurang secara signifikan, sementara konsumsi buah dan sayuran meningkat (P=0,003). Sumber: https://jnfh.mums.ac.ir/article_300.html

 Studi terbaru tahun 2022 yang ditulis oleh Nazeer Khan seorang Profesor Biostatistik di Millat University, Islamabat, Pakistan dan Sumaiya Khan, mahasiswi pascasarjana angkatan ke-3 di bidang bedah, Rumah Sakit dan Perguruan Tinggi Kedokteran Liaquat National, Karachi, Pakistan menunjukan adanya dampak puasa Ramadan bagi penyintas diabetes dan hipertensi. Jurnal yang berjudul “Effects of Ramadan Fasting, Physical Activity, and Dietary Patterns on Diabetic and Hypertensive Patients” ini bertujuan untuk membandingkan efek puasa Ramadan terhadap tekanan darah, kadar glukosa puasa, serta indeks massa tubuh (BMI) pada pasien diabetes mellitus (DM), hipertensi (HTN), kombinasi DM dan HTN, serta individu sehat.

Penelitian tersebut merupakan studi prospektif dan cross-sectional yang dilakukan selama bulan Syaban, Ramadan, dan Syawal pada tahun 2020. Sebanyak 155 partisipan dibagi ke dalam empat kelompok: HTN (n=42), DM (n=32), kombinasi DM dan HTN (n=41), serta kelompok sehat (n=40). Data dikumpulkan melalui wawancara sebanyak tiga kali selama periode studi untuk memperoleh informasi mengenai demografi, pola makan, dan aktivitas fisik. Selain itu, parameter fisik (tinggi dan berat badan) serta parameter klinis (tekanan darah sistolik dan diastolik, serta kadar glukosa puasa) diukur dalam setiap kunjungan. Selanjutnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa puasa Ramadan dapat secara efektif membantu mengontrol tekanan darah dan kadar glukosa darah pada pasien diabetes dan hipertensi. Selain itu, peningkatan aktivitas fisik selama Ramadan, terutama melalui shalat Tarawih, memberikan dampak positif bagi kesehatan. Meskipun demikian, pola konsumsi makanan yang berubah, termasuk peningkatan konsumsi kalori dan natrium, perlu mendapat perhatian lebih lanjut untuk menghindari dampak negatif jangka panjang. Sumber: https://jnfh.mums.ac.ir/article_19188.html

Baca Juga :  Kemunduran Ummat Islam Karena Kekeliruan Berfikir

 Selain kedua jurnal di atas, penulis juga pernah membaca sebuah postingan di Facebook, mengenai manfaat berpuasa pada sisi medis. Dalam postingan tersebut dinyatakan ketika tubuh tidak menerima asupan makanan dalam periode tertentu, ia akan memasuki fase pembersihan alami yang dikenal sebagai autophagy. Pada fase ini, tubuh akan menghancurkan dan mendaur ulang sel-sel rusak yang berpotensi merugikan, termasuk sel-sel yang dapat memicu penyakit kanker dan Alzheimer. Selain itu, proses autophagy juga merangsang produksi hormon pertumbuhan yang mendukung regenerasi jaringan. Sel-sel induk mulai memperbarui diri, tingkat peradangan menurun, dan sistem kekebalan tubuh diperkuat melalui pembentukan sel-sel imun baru. Autophagy juga berperan dalam menghilangkan racun, logam berat, dan sel-sel pra-kanker, sehingga menjadikannya mekanisme krusial dalam menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh.

Epilog

Selama menjalankan program Intermittent fasting atau membatasi pola makan dengan kurun waktu tertentu, dilanjutkan berpuasa Senin, Kamis, dan Ayyâmul Bidh setiap bulan, penulis mengalami perubahan yang cukup signifikan terhadap kesehatan badan. Sebagai penyintas diabetes yang awalnya rutin mengonsumsi obat, kini penulis tidak lagi tergantung pada obat tersebut setelah menerapkan puasa dan olahraga secara rutin. Karena itu, sebagai penutup dari tulisan ini, penulis hendak meyakinkan pembaca bahwa puasa itu menyehatkan, baik fisik maupun mental. Secara fisik, kerja metabolisme tubuh menjadi baik, sedangkan pada sisi mentalitas, tidak punya kecenderungan untuk menurutkan hawa nafsu yang merugikan. Wallahu A’lam bis Shawab

H. Mohammad Khoiron

Ketua Dewan Pengawas Rumah Kitab Jakarta

Leave A Reply

Your email address will not be published.